Bila benar Susilo Bambang Yudhoyono ingin membersihkan Partai Demokrat dari korupsi, inilah tantangan yang harus dijawab. SBY, yang kini mengendalikan Demokrat, mesti membuka keuangan partai ini seperti yang dituntut Indonesia Corruption Watch (ICW). Transparansi pengelolaan keuangan bahkan jauh penting dibanding penandatanganan pakta integritas yang kini diwajibkan bagi kader Demokrat.
ICW sudah sejak tahun lalu meminta data program dan laporan keuangan dari sembilan partai politik. Tapi yang merespons cuma Partai Kebangkitan Bangsa. Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Gerindra memberikan laporan seadanya. Selebihnya, termasuk Partai Demokrat, tidak mau melayani permintaan itu, dengan berbagai alasan.
Lembaga swadaya masyarakat itu kemudian membawa kasus tersebut ke Komisi Informasi Publik (KIP). Hasilnya, Majelis KIP memerintahkan Demokrat memberikan laporan keuangan tahun 2010 dan 2011 kepada ICW. Sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan mendapat vonis serupa.
Transparansi keuangan partai sebetulnya sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Partai Politik dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Tapi kalangan partai selalu menutup-nutupi keuangannya. Banyak pengelola partai malah bersikap seolah partai adalah perusahaan keluarga. Mereka lupa bahwa partai politik juga menggunakan dana publik, baik dari APBN dan APBD maupun sumbangan langsung dari masyarakat.
Karena itu, kita perlu menyokong keputusan majelis KIP yang mengabulkan permohonan ICW. Pengelolaan dana partai politik secara terbuka dan akuntabel sangatlah penting. Bukan hanya bagi Partai Demokrat, tapi juga bagi seluruh partai. Transparansi memungkinkan masyarakat untuk ikut mengawasi pengelolaan keuangan partai. Prinsip juga memaksa partai untuk jujur dan prudent dalam urusan fulus.
Sikap partai yang menyembunyikan laporan keuangannya justru semakin mencurigakan. Jangan-jangan, mesin partai selama ini memang digerakkan oleh dana hasil korupsi para kadernya, seperti yang diperkirakan banyak orang. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan petinggi partai dan politikus Senayan setidaknya memperkuat dugaan ini. Hampir tak pernah pula partai menyandarkan keuangan pada iuran rutin dari para kadernya.
Jelas sangat berbahaya jika korupsi dibiarkan menjadi alat partai untuk mengumpulkan dana. Pada zaman Orde Baru, ketika politik praktis digerakkan oleh satu partai saja, negara ini sudah morat-marit lantaran korupsi. Bayangkan apa yang bisa terjadi jika sembilan partai besar yang punya akses ke pemerintah dan parlemen saat ini rama-ramai korupsi.
Itu sebabnya, SBY sebaiknya segera menjalankan keputusan KIP. Bukan semata supaya dia tidak dituding ngecap ketika berjanji akan membersihkan Demokrat dari unsur-unsur negatif. Juga bukan karena para kader partai telanjur berjanji bersikap antikorupsi lewat penandatanganan pakta integritas. Tapi lebih dari itu, sebagai presiden dan kepala negara, inilah saatnya SBY memberi teladan menaati Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.