Betapa kacau Komisi Pemberantasan Korupsi menangani kasus Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Ketua KPK Abraham Samad mengatakan pimpinan komisi ini sudah sepakat menetapkan Anas sebagai tersangka suap proyek Hambalang. Tapi sebagian anggota pimpinan kemudian membantahnya. Jika dibiarkan, simpang-siur ini akan menggerogoti kredibilitas KPK.
Publik tentu bingung pula karena beredar fotokopi surat perintah penyidikan (sprindik) yang menyebutkan Anas sebagai tersangka. Surat yang tampak asli ini sudah diteken sejumlah pejabat KPK, termasuk Abraham. Hanya, sejumlah petinggi yang lain di komisi ini kemudian mempersoalkan bocornya surat itu. Sebagian di antara mereka juga menyatakan status Anas masih saksi, belum tersangka.
Kisruh itu berlanjut dengan pernyataan salah satu wakil ketua komisi antikorupsi, Adnan Pandu Praja, yang mencabut paraf dalam sprindik tersebut. Alasannya, nilai mobil Toyota Harrier yang diterima Anas dari kontraktor Hambalang kurang dari Rp 1 miliar. Kendati menyatakan bukti gratifikasi ini amat kuat, Pandu menganggap KPK tak perlu menangani kasus yang "kecil".
Para petinggi KPK semestinya tak menelanjangi diri sendiri. Khalayak hanya ingin tahu sejauh mana keterlibatan Anas dalam proyek pembangunan pusat olahraga di kawasan Sentul, Bogor, ini. Pernyataan anggota pimpinan KPK yang saling berbantah hanya membuat orang mempertanyakan soliditas lembaga ini.
Ketua KPK tak perlu mengumbar pernyataan tentang perkembangan kasus Anas bila memang belum disepakati oleh seluruh pimpinan. Sebaliknya pula, anggota pimpinan yang kurang setuju dengan sikap Abraham mesti menahan diri. Toh, manuver sang ketua bisa dipersoalkan secara internal lewat sidang etik. Begitu pula urusan bocornya sprindik yang menghebohkan itu. Para petinggi KPK semestinya bisa menyelesaikannya secara internal, tanpa banyak ribut.
Publik hanya menginginkan kejelasan kasus Anas yang ditangani KPK. Jika memang cukup bukti, kenapa mesti diperdebatkan berlarut-larut hingga mengundang perpecahan petinggi lembaga ini? Apalagi, alasan mengulur-ulur kasus ini tak masuk akal.
Sebagian anggota pimpinan KPK, misalnya, berdalih penyidiknya masih mengejar bukti keterlibatan Anas dalam urusan yang lebih besar. Di antaranya aliran duit puluhan miliar rupiah yang bermuara di Kongres Demokrat pada 2010. Alasan ini mengada-ada, karena peningkatan status kasus Anas dari penyelidikan ke penyidikan tak akan menghambat pengusutan kasus lain yang lebih besar.
Begitu pula dalih Pandu bahwa gratifikasi mobil Harrier itu bernilai di bawah Rp 1 miliar. Alasan ini ngawur, lantaran kriteria kasus yang layak ditangani KPK itu menyangkut kerugian negara, bukan nilai suap. Berapa pun nilai suap terhadap penyelenggara negara tetaplah merupakan kejahatan yang keji. KPK pun sudah berkali-kali menangani kasus dengan nilai suap ratusan juta rupiah. Itu sebabnya, KPK mesti segera merapatkan barisan. Lembaga yang sudah membongkar banyak kasus besar ini tak selayaknya retak hanya karena kasus Anas.