Perombakan besar-besaran pejabat eselon II oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo semestinya bisa membuat Jakarta lebih baik. Di tangan para pejabat baru itulah ide dan gagasan pemimpin Ibu Kota diterjemahkan di lapangan. Dengan perombakan, khalayak berharap Joko Widodo (Jokowi) tidak salah memilih orang. Warga Jakarta pun harus ikut mengawasi agar para pejabat baru itu nantinya benar-benar membawa perubahan, bukan sekadar alih jabatan rutin dalam birokrasi.
Harapan seperti itu wajar karena pelantikan 20 pejabat eselon II Satuan Perangkat Kerja Daerah oleh Jokowi baru-baru ini bukan peristiwa biasa. Jarang ada mutasi dalam skala sebesar itu. Dengan perombakan ini, diharapkan anak buah Jokowi bisa merespons setiap masalah dengan cepat. Pos yang mendapat pemimpin baru di antaranya adalah Dinas Perumahan, Dinas Pekerjaan Umum, dan Wakil Kepala Dinas Kebersihan.
Mudah diduga, perombakan birokrasi ini erat kaitannya dengan berbagai temuan Jokowi dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dalam empat bulan pertama jabatan mereka. Jokowi, yang rajin menelisik berbagai sudut Jakarta, antara lain menemukan ketidakberesan penanganan sampah, lemahnya koordinasi penanganan banjir, atau percaloan akut pembelian rumah susun. Sedangkan Ahok, yang bertugas mengawal birokrasi dan anggaran, kerap menemukan pejabat yang tak siap bekerja dengan benar dan tertib anggaran.
Persoalannya, apakah personel pilihan Jokowi ini benar-benar figur yang tepat? Publik tak banyak tahu tentang mereka. Kepala Dinas Pekerjaan Umum yang baru, Manggas Rudy Siahaan, misalnya, selama ini hanya diketahui sebagai pejabat yang banyak bertugas di lingkungan teknis. Sebelumnya, ia Asisten Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Transportasi. Adapun Yonathan Pasodung, yang dilantik sebagai Kepala Dinas Perumahan, tadinya adalah Kepala Bidang Pembina dan Pembangunan Gedung DKI. Konfigurasi itu menunjukkan bahwa, dari segi bidang kerja, sebetulnya tidak ada perubahan radikal. Tampaknya langkah Jokowi lebih berupa penyegaran agar jajaran di bawahnya mampu mengikuti ritme kerja yang cepat, gesit, dan responsif.
Meski bukan mutasi radikal, penyegaran seperti itu tetap perlu. Tak bisa dibantah, birokrasi Pemerintah Provinsi Jakarta selama ini justru menjadi penghambat kemajuan Ibu Kota. Pelayanan publik telantar. Kinerja mereka pun buruk. Ini setidaknya terlihat dari sisa anggaran tahun lalu yang mencapai Rp 8 triliun lebih alias 20 persen dari anggaran total. Jelaslah, besarnya anggaran yang tak terpakai itu bukti bahwa para birokrat tidak bekerja optimal.
Organisasi birokrasi juga digerogoti praktek perkoncoan dan pengkubuan. Akibatnya, proses rekrutmen pos-pos jabatan bukan didasari meritokrasi, melainkan nepotisme. Orang yang tidak kompeten menduduki pos strategis, sedangkan yang ahli malah tersingkir. Pernah terungkap, ada lebih dari dua kepala dinas yang masih saja diperpanjang masa tugasnya padahal sudah mendekati pensiun.
Kejumudan birokrasi macam inilah yang sekarang diperangi Jokowi-Ahok. Serangkaian ikhtiar sudah dilakukan, namun kebobrokan tak akan lenyap dalam semalam. Maka, proses lelang jabatan, juga uji kelayakan yang transparan, layak didukung demi mengikis penyakit birokrat. Jokowi-Ahok juga semestinya melakukan audit kepegawaian demi mendapatkan peta yang jelas mengenai tugas pokok dan fungsi setiap orang.
Warga Ibu Kota sangat berharap mutasi ini bisa mewujudkan jakarta yang lebih baik. Mereka pasti akan ikut memantau kinerja para pejabat itu, lalu menyampaikan masukan kepada Jokowi-Ahok. Mengurus Jakarta memang tak bisa lagi dilakukan dengan leha-leha.