Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pahlawan

Oleh

image-gnews
Iklan
"Hatta dan aku tak pernah berada dalam getaran-gelombang yang sama" -- Bung Karno, dalam Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat (1965). MEMANG, ia berbicara tentang masa tahun 1930-an, Tapi kalimatnya masih terasa menyabet ketika buku itu disusun. Waktu itu Bung Karno dan Bung Hatta berpisah lagi. Yang satu berada di puncak kekuasaan -- sebagai Pemimpin Besar Revolusi, juga Presiden Seumur Hidup. Yang lain di luar. Bahkan risalahnya, Demokrasi Kita (sebuah kririk kepada "demokrasi terpimpin") dilarang. "Ah, susah orangnya," kata Bung Karno pula tentang Hatta. "Perbedaan kami seperti siang dan malam . . ." Kita memang terpaksa membaca semua itu kembali kini, beberapa saat setelah masa berkabung resmi selesai untuk almarhum Bung Hatta. Kita memang harus membaca kembali semua itu, untuk mengecek kenangan kita yang samar-samar -- atau menguji mithos kita yang mungkin tanpa dasar. Seperti juga kita merasa perlu membaca kembali Memoir sung Hatta yang terbit tahun lalu. Terutama ketika ia mengutip kembali Tragedie Soekarno, yang ia tulis dalam Daulat Ra'jat, 30 November 1933. Waktu itu Bung Hatta memimpin Pendidikan Nasional Indonesia, "PNI Baru". Di pihak lain Bung Karno memimpin Partindo. Kedua organisasi perjuangan kemerdekaan itu bersaing sengit -- dan dalam menawarkan cara bergerak, keduanya sering terlibat dalam polemik. Bung Hatta mengutamakan gerakan partai kader. Anggotanya harus terpilih dan terlatih dalam berpandangan serta berorganisasi. Bung Karno sebaliknya berpendirian lain: "Apa gunanya kader ini? Bukankah lebih baik kita mendatangi langsung rakyat-jelata dan membakar hati mereka, seperti selama ini telah saya kerjakan?" Perdebatan itu tercermin juga dalam Memoir Bung Hatta. Tapi yang lebih menyengat ialah sengitnya kata-kata setelah Bung Karno ditangkap pemerintah Hindia-Belanda, 1 Agustus 1933. Sebab ada suatu peristiwa yang mengejutkan. Akhir Oktober 1933, tersebarlah sebuah pernyataan pemerintah kolonial yang diperkuat oleh pimpinan Partindo. Di sana disebutkan bahwa Bung Karno telah mengundurkan diri dari partai dan menyesal atas kegiatannya di masa lalu. Kini, kata pernyataan itu, Ir. Soekarno bersedia bekerjasama dengan pemerintah . . . Bung Hatta, seperti banyak tokoh pergerakan lainnya, kaget. "Sebagai pohon nyiur runtuh disambar gledek," tulisnya dalam Tragedie Soekarno. "Sikap Soekarno itu memberi cemar kepada seluruh pergerakan nasional dan harus dicela sekeras-kerasnya." Bung Karno diam. Dalam buku John Ingleson yang terbit tahun lalu tentang Indonesia di masa ini -- Road To Exile, The Indonesian Nationalist Movement 1927-1934 -- disebutkan apa sebabnya. Di arsip lama pemerintah Hindia-Belanda di Den Haag, diketemukanlah empat pucuk surat Bung Karno kepada Jaksa Agung. Isinya: permohonan agar dirinya dibebaskan, dan janji bahwa ia akan mundur dari kegiatan politik. "Adakah lagi kesedihan yang lebih sedih dari pada itu?" tulis Hatta menyesali "Bagi pergerakan yang akan datang politikus Soekarno sudah mati. Bung Hatta salah meramal hari itu. Di tahun 1934 Bung Karno dibuang ke Flores. Bung Hatta dibuang ke Digul, lalu ke Banda Neira, dan akhirnya ke Sukabumi. Jepang kemudian mengalahkan Hindia-Belanda. Untuk tujuannya sendiri, penjajah baru itu mengajak Soekarno-Hatta bekerjasama. Dalam usia 40-an tahun, kedua pemimpin ternyata dengan cepat menerima tawaran itu. Salahkah mereka? Mungkin tidak. Tapi seperti agaknya dirasakan para pemuda waktu itu, sikap mereka bukanlah sikap heroik. Kita tak tahu adakah heroisme sedemikian penting. Dalam Daulat Ra'jat 10 Desember 1933 Bung Hatta menulis "langanlah mencita-cita ada nya pemimpin pahlawan bagi Indonesia melainkan kehendakilah adanya pahlawan-pahlawan yang tak punya nama."
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Rangkaian Momen Sebelum Soeharto Naik Menjadi Presiden Gantikan Sukarno 56 Tahun Lalu

1 hari lalu

Letjen Soeharto (kiri), Soekarno, Sultang Hamengku Buwono IX, dan Adam Malik pada rapat Kabinet Ampera1, 25 Juli 1966. Dok. Rusdi Husein
Rangkaian Momen Sebelum Soeharto Naik Menjadi Presiden Gantikan Sukarno 56 Tahun Lalu

Naiknya Soeharto sebagai presiden menggantikan Sukarno berawal dari kemelut politik yang rumit pasca peristiwa G30S


Mengenang 31 Tahun Mohammad Natsir Berpulang: Menengok Ide Negara dan Agama

51 hari lalu

Mohammad Natsir. Dok.TEMPO/Ali Said
Mengenang 31 Tahun Mohammad Natsir Berpulang: Menengok Ide Negara dan Agama

Mohammad Natsir merupakan pemikir, politikus, sekaligus pendakwah.


Klaim Prabowo soal Food Estate: Pemikiran Strategis Bung Karno

57 hari lalu

Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan) meninjau lahan yang akan dijadikan
Klaim Prabowo soal Food Estate: Pemikiran Strategis Bung Karno

Prabowo Subianto heran mengapa banyak tokoh nasional yang mempertanyakan urgensi food estate.


Suhu Politik Sebelum Peristiwa G30S 1965: Fakta-fakta Angkatan Kelima yang Diusulkan PKI

28 September 2023

Jenderal Ahmad Yani. Wikipedia
Suhu Politik Sebelum Peristiwa G30S 1965: Fakta-fakta Angkatan Kelima yang Diusulkan PKI

Pada 1965 PKI mengusulkan Angkatan Kelima, sebuah matra militer beranggotakan buruh dan tani yang dipersenjatai. Letjen Ahmad Yani menolak ide itu.


Siapa Pencetus Nama Pramuka?

14 Agustus 2023

Ilustrasi Pramuka. Getty Images
Siapa Pencetus Nama Pramuka?

Nama Pramuka diusulkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mendapat inspirasi dari kata Poromuko, yang berarti pasukan terdepan dalam perang.


Begini Sejarah Awal Mula Masuknya Gerakan Pramuka di Indonesia

14 Agustus 2023

Suasana upacara api unggun dalam acara Persami (Perkemahan Sabtu-Minggu) untuk memperingati Hari Pramuka ke-61, di lapangan SD Negeri Anyelir 1, Depok, Sabtu, 13 Agustus 2022. TEMPO/ Gunawan Wicaksono
Begini Sejarah Awal Mula Masuknya Gerakan Pramuka di Indonesia

Awal terbentuknya Pramuka di Indonesia ditandai dengan munculnya cabang milik Belanda dengan nama Nederlandesche Padvinders Organisatie pada 1912.


Siti Nurbaya Bebaskan Hutan Kawasan Sukapura, Bermula dari Program Transmigrasi Presiden Sukarno

13 Agustus 2023

Ilustrasi sengketa tanah. Pixabay/Brenkee
Siti Nurbaya Bebaskan Hutan Kawasan Sukapura, Bermula dari Program Transmigrasi Presiden Sukarno

Masyarakat di Pekon (Desa) Sukapura, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat menerima SK pembebasan hutan kawasan dari Menteri Siti Nurbaya.


LRT Jabodebek Akan Diresmikan: Ini Jejak Trem di Jakarta, Pernah Jadi Denyut Nadi Batavia

8 Juli 2023

Pekerja membongkar aspal yang menutup jalur trem masa kolonial Belanda  di kawasan Gajah Mada, Jakarta, Rabu, 9 November 2022. Nantinya jalur trem peninggalan Belanda tersebut akan dipindahkan dan disimpan. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
LRT Jabodebek Akan Diresmikan: Ini Jejak Trem di Jakarta, Pernah Jadi Denyut Nadi Batavia

Sebelum LRT Jabodebek yang bakal diresmikan bulan depan, Jakarta yang dahulu Batavia hingga pasca Kemerdekaan pernah memiliki moda Trem.


Kilas Balik Peristiwa Percobaan Pembunuhan Presiden Sukarno Oleh Pemberontak DI/TII 62 Tahun Lalu

15 Mei 2023

Soekarno Presiden pertama Indonesia di Jakarta, saat para fotografer meminta waktu untuk memfotonya Presiden Sukarno tersenyum, dengan mengenakan seragam dan topi, sepatu juga kacamata hitam yang menjadi ciri khasnya. Sejarah mencatat sedikitnya Tujuh Kali Soekarno luput, Lolos, Dan terhindar dari kematian akibat ancaman fisik secara langsung, hal yang paling menggemparkan adalah ketika Soekarno melakukan sholat Idhul Adha bersama, tiba tiba seseorang mengeluarkan pistol untuk menembaknya dari jarak dekat, beruntung hal ini gagal. (Getty Images/Jack Garofalo)
Kilas Balik Peristiwa Percobaan Pembunuhan Presiden Sukarno Oleh Pemberontak DI/TII 62 Tahun Lalu

Terjadi pada 1962 begini kilas balik penembakan Presiden Sukarno oleh anggota DI/TII.


Kilas Balik Perjanjian Roem-Roijen 74 Tahun Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

7 Mei 2023

Rumah bergaya indische di Jalan Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta. Pada agresi militer Belanda kedua tahun 1948, Presiden Soekarno dan keluarga pernah menjadikan rumah ini sebagai tempat persembunyian. Tempo/Anang Zakaria
Kilas Balik Perjanjian Roem-Roijen 74 Tahun Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Usai proklamasi, Indonesia juga berusaha mempertahankan kemerdekaan melalui jalur diplomatik tanpa kekerasan, salah satunya perjanjian Roem-Roijen.