Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Bahasa, Politik, Fobia

image-profil

image-gnews
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Musyafak, Staf Balai Litbang Agama Semarang

Dialek, intonasi, dan gaya berbahasa merupakan representasi politik seseorang. Tuturan seorang politikus merupakan representasi pandangan atau tindakan politiknya secara umum. Dalam arena politik berbangsa-bernegara, komunikasi politik hari ini rentan ditautkan dengan masa lalu, berikut timbunan stigma buruk yang memboncenginya. Mafhum jika sebagian besar orang Indonesia saat ini merasakan fobia ketika mendengar pidato atau cara bicara Prabowo Subianto.

Dialek calon presiden dari partai Gerindra itu seolah daur ulang dari gaya tutur Soeharto. Sebagian orang takut mendengar pidato atau ucapan yang sarat dengan gubahan akhiran "-ken" ketimbang "-kan". Hingga debat putaran ketiga capres yang telah berlangsung belum lama ini, publik bisa menyimak Prabowo mengucap "memberesken", "memberiken", "memerluken", "menyiapken", dan lain-lain. Dialek itu menyeret memori kolektif publik kepada masa Orde Baru yang sudah ditandai nisan. Tak sedikit orang yang berpandangan atau memiliki sentimen negatif terhadap Orde Baru merasa takut jika calon pemimpinnya justru seolah mengajak kembali ke "zaman angker" itu.

Meski belum tentu juga Prabowo hendak membawa Indonesia balik kanan dari agenda Reformasi untuk kembali ke model kepemimpinan otoritarian Orde Baru, gaya bertuturnya justru menjadi isyarat bagi publik untuk membaca kehendak politiknya, yang seolah mengajak mundur ke masa lalu. Sebab, bahasa menyingkapkan ingatan dan fobia tersendiri bagi publik.

Mochtar Pabottinggi, dalam esainya yang berjudul Bahasa, Politik, dan Otosentrisitas (dalam Latif dan Ibrahim, 1996), mendedahkan hubungan antara bahasa dan politik yang begitu erat. Menurut dia, pilihan menggunakan bahasa atau kata-kata tertentu tak lain adalah berpolitik dalam maknanya yang paling dalam dan luas. Pilihan menggunakan dialek dan menekankan pengertian tertentu atas kata juga bagian dari berpolitik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara itu, calon presiden lain, Joko Widodo (Jokowi), relatif bersih dari fobia kebahasaan semacam itu. Komunikasi politik Jokowi tak terhubung dengan kode-kode bahasa Orde Baru yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap tak lagi relevan. Ketika mendengar intonasi, dialek, atau gaya bicara Jokowi, publik tidak memiliki preferensi apa pun untuk mengaitkannya dengan rezim Soeharto itu. Soal kebahasaan, Jokowi relatif lebih sedikit menjadi sasaran sentimen negatif dari publik.

Dalam konteks komunikasi politik yang tampak hingga debat putaran ketiga capres, bisa dikatakan Prabowo tampak lebih unggul dalam hal mengartikulasikan gagasan. Kemantapan intonasi dan nada bicara Prabowo menjadi nilai plus tersendiri dibanding cara bicara Jokowi yang kerap tersendat atau terpotong. Sayangnya, gaya tutur Prabowo justru dibebani oleh dialek "Soehartois" yang menerbitkan sentimen kurang simpatik, bahkan antipatik.

Dialek yang mengujarkan akhiran "-kan" dengan "-ken" merupakan representasi elitisasi bahasa. Selama puluhan tahun, Soeharto telah meneguhkan identitas dirinya dengan elitisasi bahasa yang diciptakannya untuk berkomunikasi dengan rakyatnya sendiri. Hari ini, Prabowo dengan ujaran-ujaran dan bahasa yang digunakannya, setidaknya tampak masih mewarisi kultur elitisasi bahasa yang diciptakan oleh elite Orde Baru itu. Tanggal 9 Juli memang tak lama lagi, tapi rasanya Prabowo tetap perlu berintrospeksi dan mengoreksi gaya bertuturnya. *


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Kemdikbudristek Sebut 11 Bahasa Daerah Punah, Apa Penyebab dan Dampaknya?

40 hari lalu

Siswa SDN 295 Pinrang, Sulawesi Selatan, sedang belajar bahasa daerah aksara Lontara Bugis, Sabtu 13 Februari 2021. TEMPO | Didit Hariyadi
Kemdikbudristek Sebut 11 Bahasa Daerah Punah, Apa Penyebab dan Dampaknya?

Sebanyak 11 bahasa daerah dinyatakan punah, 19 lainnya terancam punah. Guru besar Unair menjelaskan penyebab, dampak, dan upaya mencegahnya.


5 Bahasa Tubuh dan Maknanya. Seperti Apa Orang yang Percaya Diri?

31 Oktober 2017

Front Page Cantik. Duduk Silang Kaki. shutterstock.com
5 Bahasa Tubuh dan Maknanya. Seperti Apa Orang yang Percaya Diri?

Tanpa kita sadari, bahasa tubuh seseorang bisa menjadi cermin karakternya.


Sumpah Pemuda, Anies: Siswa di DKI Idealnya Belajar Bahasa Daerah

30 Oktober 2017

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di pendopo Balai Kota Jakarta, Jumat, 27 Oktober 2017. TEMPO/Larissa
Sumpah Pemuda, Anies: Siswa di DKI Idealnya Belajar Bahasa Daerah

Dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda 2017, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, idealnya, siswa di DKI juga belajar bahasa daerah.


Ada Aturan Wajib Gunakan Bahasa Indonesia di Sumut

26 Oktober 2017

Suasana pemandangan Danau Toba yang dilihat dari desa Tongging, Karo, Sumut, Sabtu (25/01). Tempo/Dian Triyuli Handoko
Ada Aturan Wajib Gunakan Bahasa Indonesia di Sumut

Aturan dalam bentuk Perda baru di Sumut itu mewajibkan warga Sumut menggunakan Bahasa Indonesia di tempat umum.


Hadapi Era Globalisasi, Bahasa Inggris Adalah Keharusan

26 Oktober 2017

Ini yang Perlu Dilakukan Agar Efektif Belajar Bahasa Inggris
Hadapi Era Globalisasi, Bahasa Inggris Adalah Keharusan

Belajar bahasa Inggris semakin diperlukan di era global, terutama di kota besar seperti Jakarta


Hasil Penelitian, 7 Bahasa Daerah di Maluku Punah, 22 Terancam

29 Agustus 2017

Ilustrasi bahasa daerah. TEMPO/Imam Sukamto
Hasil Penelitian, 7 Bahasa Daerah di Maluku Punah, 22 Terancam

Potensi punahnya bahasa daerah juga disebabkan adanya pergeseran nilai-nilai budaya di masyarakat.


3 Bahasa Asing yang Dianggap Sulit Dipelajari

4 Mei 2017

sxc.hu
3 Bahasa Asing yang Dianggap Sulit Dipelajari

Apa saja tiga bahasa asing yang dianggap paling sulit itu?


Using Banyuwangi Masuk Bahasa Jawa atau Bukan?  

2 Februari 2017

sxc.hu
Using Banyuwangi Masuk Bahasa Jawa atau Bukan?  

Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Rahmat Taufiq Hidayat mengatakan karya sastra berbahasa Using masih menjadi perdebatan. Masuk bahasa Jawa atau bukan?


Kapan Waktu yang Tepat Belajar Bahasa Inggris?

31 Januari 2017

Ilustrasi pria bermain dengan anak-anak. baby.ru
Kapan Waktu yang Tepat Belajar Bahasa Inggris?

Konon, belajar bahasa Inggris itu lebih baik sejak balita. Fakta atau mitos?


Keunikan Kemampuan Sinestesia: Bisa 'Mendengar' Warna  

10 Januari 2017

sxc.hu
Keunikan Kemampuan Sinestesia: Bisa 'Mendengar' Warna  

Orang-orang yang bisa berbahasa asing dapat melihat warna tertentu saat mendengarkan musik, atau menyaksikan huruf-huruf dalam warna spesifik.