TEMPO.CO, Jakarta - Iwel Sastra, komedian, @iwel_mc
Hari-hari ini sepak bola dan politik menarik perhatian masyarakat. Hal ini karena jadwal Piala Dunia FIFA 2014 bertepatan dengan jadwal kampanye pemilihan Presiden Republik Indonesia. Saya menemukan beberapa hal menarik terkait dengan politik dan sepak bola, khususnya di lini massa Twitter pada Minggu, 22 Juni 2014. Saat berlangsung acara debat calon presiden, lini massa ini dipenuhi kicauan pendukung Prabowo maupun Jokowi. Ketika memasuki jeda iklan, lini masa mulai dipenuhi kicauan tentang sepak bola. Bahkan ada kicauan yang berbunyi "anak politik minggir, anak bola mau masuk".
Sepak bola disebut sebagai olahraga dengan jumlah penonton terbanyak di dunia, karena menonton pertandingan bola memang memiliki kenikmatan tersendiri. Menurut saya, penyebab utama pertandingan sepak bola itu enak ditonton bukanlah pada kepiawaian para pemainnya menggiring bola, melainkan karena bola yang digunakan bundar. Menonton sepak bola tentu tidak akan senikmat sekarang seandainya bola yang digunakan berbentuk segi empat, apalagi jajaran genjang. Pemain sepak bola tidak akan berani lincah menyundul bola jika bolanya berbentuk segi empat, karena takut kena bagian yang lancip.
Salah satu yang saya suka dalam menyaksikan pertandingan sepak bola adalah saat pemain melakukan tendangan bebas. Meskipun Gianfranco Zola, David Beckham, dan Roberto Carlos telah pensiun sebagai pemain sepak bola, hingga sekarang saya masih terkesan oleh tendangan bebas yang pernah mereka lakukan saat masih aktif membela klub atau negara masing-masing. Dalam Piala Dunia 2014 ini, saya terkesan oleh tendangan bebas yang dilakukan oleh pemain tengah Swiss, Blerim Dzemaili. Bola datar hasil tendangan Dzemaili menerobos kaki pemain Prancis, kemudian melenggang masuk ke gawang yang dijaga kiper Hugo LIoris. Meskipun namanya tendangan bebas, tendangan pemain sepak bola profesional selalu mengarah ke gawang. Berbeda dengan saya yang, saat melakukan tendangan bebas, tendangannya bebas ke mana-mana.
Sepak bola dan politik memiliki berbagai kesamaan. Dalam sepak bola, setiap klub atau negara yang bertanding memiliki pendukung. Begitu juga dalam kompetisi politik. Setiap partai dan kandidat politik memiliki pendukung. Bedanya, dalam politik, terutama dalam masa kampanye pemilihan presiden saat ini, muncul kampanye hitam yang ditujukan kepada para capres. Akibatnya, kubu masing-masing capres ini saling tuding mengenai kampanye hitam yang beredar. Dalam sepak bola, belum pernah saya temukan ada kampanye hitam menjelang pertandingan. Kalaupun ada kampanye hitam, hal itu tidak akan berpengaruh pada pertandingan, karena kemenangan dalam sepak bola ditentukan oleh gol terbanyak, bukan suara terbanyak.
Fair play merupakan semangat yang dijunjung dalam pertandingan sepak bola. Semangat ini seharusnya bisa diterapkan juga dalam dunia politik, terutama dalam suasana pemilihan presiden sekarang ini. Dalam semangat fair play, ditanamkan prinsip memenangi pertandingan dengan cara terhormat serta menerima kekalahan dengan bermartabat. Saya punya teman yang kalau kalah main sepak bola selalu menerimanya dengan tegar di lapangan. Kepalanya tetap tegak menerima kekalahan. Ketika sampai di kamar ganti, barulah ia menangis dalam pelukan teman-temannya. Ini bukan hanya kalah dengan bermartabat, tapi juga kalah dengan so sweet.*