Centang-perenang aturan kampanye bagi pejabat membuat Gubernur DKI Jokowi serba salah. Ia dipersalahkan oleh Kementerian Dalam Negeri karena terlambat mengajukan izin cuti kampanye. Tapi aturan cuti pejabat yang menjadi pijakan sebetulnya amat lemah karena tak mengatur kampanye pemilihan kepala daerah. Pemerintah semestinya segera memperbaikinya.
Jokowi disorot setelah ia berkampanye untuk pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki, yang berlaga dalam pemilihan kepala daerah Jawa Barat. Dari Jakarta, ia naik kereta bersama Rieke-Teten menuju Bandung. Mereka berkampanye di setiap stasiun, lalu menemui massa pendukungnya di Bandung. Langkah ini dipersoalkan karena pengajuan izin cuti Jokowi amat mepet, hanya beberapa hari sebelum kampanye. Akhirnya, permohonan cuti itu belum sempat diteken oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pejabat Berkampanye, permohonan izin cuti harus dilakukan 12 hari sebelum kampanye. Tapi, masalahnya, dalam Pasal 10 PP ini dinyatakan juga bahwa pejabat tidak perlu mengajukan izin untuk kampanye pada hari libur. Jokowi jelas berkampanye untuk Rieke, rekan separtainya, pada Sabtu dan Minggu.
Kelemahan lain aturan itu menyangkut jenis kampanye. Peraturan pemerintah tersebut tak menyebutkan sama sekali kampanye pemilihan kepala daerah. Yang diatur hanya kampanye pemilihan anggota DPR, DPRD, dan pemilihan presiden. Dengan kata lain, Jokowi, yang mengikuti kampanye pemilihan gubernur, sebetulnya tak terikat oleh aturan ini.
Itulah pentingnya menyempurnakan PP tersebut. Bagaimanapun, aturan cuti bagi pejabat yang ikut kampanye pemilihan kepala daerah diperlukan buat menghindari konflik kepentingan. Dengan cuti, seorang gubernur atau bupati bisa melepaskan atributnya sebagai pejabat, termasuk fasilitas dan wewenang yang dimilikinya. Jokowi, misalnya, berkampanye bukan sebagai Gubernur DKI, melainkan kader PDIP. Ia pun tak boleh menggunakan fasilitas gubernur untuk berkampanye.
Kampanye pemilihan kepala daerah sebetulnya telah diatur secara detail oleh KPU. Dalam Peraturan KPU No. 14/2010 tentang Pedoman Teknis Kampanye, ditegaskan pula bahwa pejabat yang ikut kampanye kepala daerah, kendati ia bukan calon, harus mengajukan cuti. Masalahnya, berbeda dengan PP No. 14/2009, peraturan KPU ini tidak mengatur apakah cuti tetap perlu diajukan bila berkampanye pada hari libur.
Bolongnya aturan itu tentu akan menyulitkan pelaksanaannya. Apalagi peraturan KPU tidak memuat sanksi tegas bagi pasangan atau pejabat yang melanggar aturan itu. Kelemahan lain, tidak ada tata cara pengajuan cuti untuk kampanye pemilihan kepala daerah.
Sepantasnya urusan cuti kampanye pemilihan kepala daerah diatur dalam peraturan pemerintah. KPU tentu tidak berwenang mengatur tata cara pejabat mengajukan cuti kepada atasannya karena bukan urusan pemilu, melainkan masalah tertib pemerintahan. Sebelum ada aturan yang terang-benderang, para pejabat tentu akan kebingungan pula jika ingin ikut kampanye pemilihan kepala daerah seperti dialami Jokowi.