Insiden penembakan di Papua lagi-lagi menunjukkan betapa kompleksnya masalah keamanan di sana. Persoalan utama bukanlah adanya gerakan separatis, melainkan sudah bercampur-baur dengan masalah lain. Ada masalah ketimpangan dan distribusi kesejahteraan, ada pula soal politik lokal berkaitan dengan pemilu kepala daerah. Apa pun penyebabnya, insiden terakhir dengan korban 8 anggota TNI dan 4 warga sipil tewas itu harus diselesaikan. Polisi mesti berusaha keras memburu dan membawa pelakunya ke pengadilan.
Dari sisi jumlah korban, peristiwa terakhir inilah yang terbesar. Ini juga menunjukkan kekerasan di Papua makin meningkat dari tahun ke tahun. Jika ditotal, sejak 2009, sudah 51 orang tewas akibat aksi kekerasan. Eskalasi itu sangat ironis jika dibandingkan dengan berbagai kebijakan "merebut hati" yang sudah dilakukan pemerintah pusat. Sejak 2001, Papua menikmati otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.
Makna otonomi khusus tidak hanya pemberian keistimewaan dalam perwakilan warga Papua di badan legislatif dan eksekutif lokal, tapi juga penggunaan anggaran. Selain diberi prioritas dalam penetapan anggaran, Papua menikmati berbagai kemudahan. Salah satu pengistimewaan, misalnya, melalui Peraturan Presiden Nomor 84 Tahun 2012, pejabat anggaran di provinsi ini boleh melakukan penunjukan langsung tanpa tender untuk proyek bernilai hingga Rp 500 juta.
Di beberapa kabupaten tertentu, plafon itu bahkan dua kali lipatnya, yaitu Rp 1 miliar. Aturan ini sangat longgar dibanding yang berlaku di wilayah lain di Indonesia, yaitu Rp 200 juta. Keistimewaan itu tentu bertujuan mempercepat pembangunan ekonomi di Papua. Dibentuknya Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat pada 2011 juga bertujuan serupa. Masalahnya, mengapa, dengan begitu besar pengistimewaan, konflik tak juga tuntas?
Ada beberapa penyebab. Salah satunya, pemberian keistimewaan ternyata memperbesar peluang penyalahgunaan. Maka, tidak aneh bila temuan Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan anggaran otonomi khusus untuk Papua menguap hingga Rp 9 triliun lebih selama 2003-2011. Angka penguapan ini tergolong besar dibanding anggaran tahunan otonomi khusus Papua sebesar Rp 4,8 triliun. Dampak penyelewengan ini adalah, proyek-proyek pembangunan infrastruktur di Papua tak berjalan sesuai dengan rencana. Mustahil merebut hati rakyat Papua jika proyek-proyek pembangunan terhambat gara-gara anggarannya ditilap.
Sebab lain adalah masih tersendatnya dialog antara pemerintah pusat dan warga Papua. Dialog cenderung berlangsung tanpa pemahaman bahwa struktur masyarakat Papua bukanlah struktur tunggal. Ada 300 lebih suku dengan otonomi masng-masing. Model dialog seperti itu hanya menghasilkan kesepakatan yang belum tentu diterima semua pihak. Maka, dialog harus dilakukan dengan merangkum seberagam mungkin perwakilan masyarakat Papua.
Dialog itu pun harus menyertakan solusi permanen mengenai berbagai hal yang menjadi sumber konflik. Misalnya, soal sistem sharing keuntungan perusahaan tambang dan perkebunan besar yang banyak mengambil tanah ulayat warga. Pendekatan ini memang tak akan populer di kalangan investor atau perusahaan tambang di sana. Tapi pendekatan ini diperlukan karena di sinilah salah satu sumber utama konflik.