Begitu sulitkah para pemimpin partai politik mengakui bahwa mekanisme demokrasi kita cenderung mendorong korupsi? Tanpa kesadaran ini, partai politik tak mungkin berintrospeksi. Padahal, keadaan amat memprihatinkan. Dalam sebulan, dua pemimpin partai penting ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Lawan politiknya mungkin bertepuk tangan setelah Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka suap proyek Hambalang. Begitu pula ketika sebulan lalu Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq, dijerat kasus suap impor daging sapi. Tapi, tanpa upaya membersihkan partai dari korupsi, kasus serupa akan terus berulang.
Sebagai pemain utama demokrasi, partai jelas bertanggung jawab atas fenomena pendangkalan politik. Banyak orang berlomba-lomba mencari jabatan politik hanya untuk mendapatkan kesempatan melakukan korupsi. Partai politik juga tak ubahnya mesin pengumpul fee atau suap dari proyek yang dibiayai dengan anggaran negara atau daerah.
Rakyatlah yang rugi. Lihatlah proyek pusat olahraga Hambalang, Sentul, Jawa Barat, yang telah menghabiskan anggaran ratusan miliar rupiah. Pembangunan proyek itu kini mangkrak. Akibat patgulipat dalam impor daging sapi, masyarakat juga dirugikan karena harga daging sapi menjadi amat mahal, bahkan termahal di dunia.
Kalangan partai politik diduga juga menggangsir anggaran negara dan daerah lewat berbagai program bantuan sosial alias Bansos. Jangan heran bila muncul peringatan dari Badan Pemeriksa Keuangan agar dana Bansos tidak dibagikan menjelang pemilihan kepala daerah. BPK memperlihatkan data tentang melonjaknya anggaran Bansos tiap kali berlangsung pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten, kotamadya, dan provinsi.
Duit itu memang dibagikan kepada rakyat, tapi bisa salah sasaran bila dicampuri kepentingan partai. Belum lagi jika sebagian anggaran itu diselewengkan. Padahal, anggaran Bansos sangat besar. Sepanjang 2013, total dana Bansos di seluruh negeri sekitar Rp 69 triliun. Setidaknya 35 persen dari dana itu atau Rp 23 triliun akan dicairkan lewat 10 kementerian yang dipimpin menteri dari partai politik.
Idealnya, partai politik mengoptimalkan iuran anggota sebagai sumber keuangan. Membiayai kegiatan politik dengan mengandalkan anggaran negara atau daerah secara terselubung atau lewat korupsi jelas tak bisa dibenarkan. Cara ini hanya akan memperbanyak politikus yang masuk penjara.
Kalangan partai politik semestinya mempertimbangkan solusi yang berulang kali didengungkan. Ketimbang menggangsir anggaran negara, lebih baik mereka meminta alokasi anggaran yang lebih besar buat partai. Konsekuensinya, pengelolaan keuangan partai mesti benar-benar transparan. Selama ini bantuan untuk partai politik sudah diberikan oleh negara, tapi jumlahnya masih kecil. Jumlah bantuan untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPR, misalnya, sebesar Rp 21 juta per kursi.
Partai politik harus segera mengatasi akar persoalan di balik munculnya kasus Anas, Luthfi, dan sederet politikus lain yang terjerat kasus korupsi. Jangan biarkan demokrasi rusak hanya karena partai tak mampu memperbaiki diri.