Christine Susanna Tjhin,
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
Setelah acara temu muka capres dengan sebuah asosiasi Tionghoa di Jakarta, minggu lalu, sejumlah media mengisyaratkan gemuruh dukungan Tionghoa untuk Prabowo. Bau amis rasisme pun sempat merebak di media sosial. Tionghoa dituduh oportunis politik dan memanfaatkan uang untuk membeli pengaruh.
Faktanya, komunitas Tionghoa itu heterogen. Klasifikasi totok dan peranakan sudah lama tidak laik, apalagi dikotomi simplistik Tionghoa kaya pro-Prabowo atau Tionghoa miskin pro-Jokowi. Tulisan ini tidak berpretensi meramal akan ke mana suara Tionghoa dalam Pilpres nanti, karena bukan itu esensi partisipasi politik Tionghoa.
Peningkatan partisipasi politik Tionghoa sejak reformasi patut dihargai. Di tataran hukum, peraturan diskriminatif warisan Orde Baru hampir semua dipreteli. Di tataran sosial politik, perjuangan masih ruwet. Trauma Mei 1998 masih merupakan momok terbesar. Sejumlah kelompok kepentingan mendaur ulang trauma ini demi kepentingan Pilpres nanti.
Munculnya Babinsa di wilayah mayoritas Tionghoa kemarin adalah kasus terbaru. Beruntung TNI sigap merespons. Hal itu tidak seburuk tingkah sejumlah tokoh Tionghoa yang gegabah berkoar di media, mengklaim mewakili masyarakat Tionghoa dalam mendukung capres tertentu. Siapa pun dari pihak mana pun yang seenaknya mengklaim mampu atau menuduh yang lain menggiring suara Tionghoa ke kubu mana pun, itu hanya sedang menipu orang lain dan dirinya sendiri. Ironisnya, dagangan dungu itu masih laku.
Banyak yang menepis suara Tionghoa karena, menurut Sensus 2010 (yang akurasinya dipertanyakan), populasinya tidak mencapai 1,2 persen. Banyak yang mengincar kontribusi Tionghoa sebatas fulus. Tapi demokrasi bukan monopoli mayoritas dan bukan dagangan.
Kekuatan partisipasi politik Tionghoa ada pada kemampuan mengarus-utamakan "masalah Cina" ke dalam kerangka tantangan keberagaman Indonesia. Pengawalan proses legislasi RUU Kewarganegaraan dulu merupakan kisah menarik, di mana komunitas Tionghoa, dengan keterbatasannya, beraliansi dengan beragam komunitas demi mengarus-utamakan kasus SBKRI ke dalam kerangka perlindungan warga negara.
Isu hangat seputar Pilpres 2014 adalah "Prabowo: Dalang atau Kambing Hitam Mei 1998?". Enam belas tahun tanpa penyelesaian hukum membuat spekulasi meradang. Ketimbang menggunakan proses hukum dalam mencari kebenaran, para politikus memilih proses politik yang manipulatif, intimidatif, dan temporer (saat pemilu saja) untuk menggaet suara Tionghoa. Ada sekelompok kecil Tionghoa yang ingin lupa-entah takut, lelah, atau tengik dan haus kekuasaan.
Pemerintahan SBY menganggap Keppres Nomor 12/2014 sudah cukup untuk Tionghoa, ketimbang membentuk Pengadilan HAM. Keppres itu hanya menggaruk permukaan "Masalah Cina" saja. Selain miskin sosialisasi dan hanya mengatur institusi pemerintah, konsistensi dan efektivitasnya masih tanda tanya. Keppres ini salah kaprah dan relatif diabaikan publik. Bandingkan dengan pembentukan Pengadilan HAM yang bisa memberikan keadilan bagi korban Mei 1998 (baik Tionghoa maupun bukan), dan menjamin teror negara serupa tak kan terulang.
Kubu Prabowo menggadang Ahok sebagai bukti kalau Prabowo tidak "anti-Cina". Tapi ada anggapan kalau itu hanya simbolis, karena mangkirnya Prabowo dari panggilan Komnas HAM pada 2006 jelas tidak membantu proses penyelesaian hukum. Terlebih, manifesto Gerindra justru menolak Pengadilan HAM.
Kubu Jokowi juga terciprat isu Mei 1998 ini dengan sosok Wiranto. Memang Prabowo sebagai capres mendapat sorotan, tapi ini juga catatan penting buat kubu Jokowi. Siapa pun yang menang, tuntutan keadilan akan terus dikumandangkan. Entah itu isu pengadilan HAM atau lainnya, pengarus-utamaan partisipasi politik Tionghoa diuji dalam Pilpres 2014, karena kampanye hitam bernuansa rasis dan intimidatif ala Orba begitu gencar. Tapi tidak ada alasan bagi masyarakat Tionghoa untuk bersembunyi di bawah ketiak ketakutan, karena 2014 bukan 1998.
Telah muncul generasi baru Tionghoa yang tak lagi kikuk bersuara. Eksistensi trauma Mei 1998 diimbangi gerakan melawan lupa yang melibas pagar etnisitas. Paling tidak, mereka sudah lebih sadar akan keterkaitan alamiah kasus diskriminasi Tionghoa dengan manajemen pluralisme Indonesia.
Kedua kubu capres merangkul politisi Tionghoa dengan beragam karakter dan gaya. Jika tidak bisa sigap mengikuti arah arus utama dan peka terhadap situasi akar rumput, partisipasi itu bukan hanya ibarat masturbasi politik yang menjustifikasi stereotip Tionghoa, tapi juga akan menyiram bensin di atas bara politik identitas.
Terlebih mengingat mencuatnya Tiongkok sebagai adidaya baru masih diwarnai perdebatan apa Tiongkok adalah ancaman atau mitra sejati. Jangan lupa, sepanjang sejarah, suka atau tidak, dinamika Tionghoa tidak pernah dilepaskan dari dinamika Tiongkok. Maka dari itu, ini imbauan untuk semua pihak-Tionghoa atau bukan-hati-hati menggadang suara Tionghoa. *