Keberanian polisi menangkap Hercules dan 40 lebih anak buahnya patut dipuji. Selama ini kelompok mereka malang-melintang di Jakarta tanpa terusik. Bahkan ada anggapan, polisi tak akan berani menangkap mereka. Maka, ketika kawanan ini merusak rumah toko di Srengseng, Jakarta Barat, pada Jumat lalu, tindakan polisi menangkap dan menggiring mereka ke markas kepolisian sudah benar. Apalagi mereka terbukti membawa aneka rupa senjata tajam, bahkan senjata api. Dasar penangkapan pun makin kuat karena Hercules dkk diduga tidak hanya melakukan perusakan, tapi juga pemerasan.
Semestinya penangkapan ini bisa menjadi momentum baru untuk membersihkan Jakarta dari kelompok-kelompok preman. Ulah mereka tidak hanya meresahkan, tapi juga menggerus modal para pengusaha dengan biaya-biaya siluman tinggi. Hampir tiap jengkal wilayah di Ibu Kota, bahkan di kolong jalan tol dan kuburan, punya "penguasa" yang secara rutin mengutip "pajak" dari para pedagang dan memalak siapa saja yang lewat.
Selama ini polisi seakan absen menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Para pengusaha yang membutuhkan kelancaran dan keamanan dalam berbisnis akhirnya mengambil jalan pintas. Mereka memilih membayar "biaya keamanan" kepada para preman ketimbang meminta perlindungan polisi. Inilah yang membuat bisnis kelompok preman itu hidup subur. Generasi baru preman pun terus bermunculan menggantikan para seniornya yang pensiun atau dicokok polisi.
Para kriminolog telah mengingatkan bahwa penangkapan Hercules-atau sebelumnya John Refra Kei, yang tahun lalu divonis 12 tahun penjara karena kasus pembunuhan bos PT Sanex Stell, Tan Harry Tantono-hanya menyentuh puncak gunung es masalah preman di Jakarta. Masih ada puluhan dan mungkin ratusan kelompok lain yang belum terjamah.
Pada mulanya mereka mungkin hanya preman pasar pengutip "uang keamanan" dari pedagang di pasar. Karena dibiarkan, pelan-pelan kekuasaan mereka membesar, makin kuat, dan susah diberantas. Polisi harus merebut kembali perannya sebagai penegak keamanan. Penyingkiran para preman harus dilakukan secara kontinu dan tak pandang bulu. Polisi harus berperan aktif. Jangan menunggu pengaduan masyarakat baru kemudian bergerak. Banyak korban merasa jeri terhadap para preman sehingga takut melapor ke polisi.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama sudah menyatakan komitmen membantu polisi menangani para preman. Sikap ini harus ditindaklanjuti dengan koordinasi yang baik antara pemerintah Jakarta dan kepolisian. Manfaatkan momentum ini sebaik-baiknya. Jangan sampai kasus ini hanya "hangat-hangat tahi ayam", pengamanan jadi kendur lagi setelah satu-dua bulan berlalu.
Tak kalah penting adalah, polisi juga perlu membersihkan diri dari para "preman berseragam". Premanisme tumbuh subur juga karena ada polisi yang melindungi. Bukan hal luar biasa melihat ada polisi berkeliling memungut setoran dari para preman dan pedagang. Bila polisi serius memberantas premanisme, hal itu pula yang harus dikikis habis. Tanpa pembersihan diri, tak akan ada preman yang takut kepada polisi. Janganlah kelak muncul sinisme terhadap keseriusan polisi memberantas preman dengan menyebut "sesama preman dilarang saling menghalangi".