Terseretnya beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam kasus simulator tidaklah mengherankan. Mereka boleh mengelak, tapi proyek bernilai ratusan miliar rupiah ini tentu sepengetahuan Dewan. Komisi Pemberantasan Korupsi mesti mengusut suap yang diduga mengalir ke politikus.
Pengusutan suap itu sama pentingnya dengan penelusuran harta Inspektur Djoko Susilo, tersangka korupsi proyek simulator. Bekas Kepala Korps Lalu Lintas yang juga dijerat dengan delik pencucian uang ini memiliki harta mencurigakan di banyak kota. Djoko mengoleksi banyak kekayaan berharga, dari rumah, mobil mewah, hingga pompa bensin. Ia pun punya istri lebih dari satu yang ikut "menjaga" harta-harta itu.
KPK juga sudah memeriksa sejumlah anggota Komisi Hukum DPR berkaitan dengan proyek yang merugikan negara sekitar Rp 100 miliar itu. Mereka antara lain Azis Syamsuddin dan Bambang Soesatyo dari Partai Golkar, serta Herman Hery dari PDI Perjuangan. Hanya, Bambang membantah bahwa anggaran proyek simulator dibicarakan di DPR, dengan alasan proyek ini dibiayai menggunakan penerimaan negara bukan pajak.
Dalih Bambang tidaklah masuk akal. Kendati didanai dengan penerimaan bukan pajak, tetap saja pengadaan simulator merupakan proyek resmi pemerintah yang perlu dibahas di DPR. Menteri Keuangan Agus Martowardojo pun membenarkan hal itu. Penerimaan negara bukan pajak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang mesti mendapat persetujuan Dewan. Ini berarti penggunaan dana penerimaan negara bukan pajak itu pun perlu direstui politikus Senayan.
Seorang anggota Komisi Hukum DPR juga mengakui bahwa anggaran proyek simulator sebesar Rp 196 miliar itu pernah dibahas di komisi ini. Lalu, terungkap pula serangkaian pertemuan antara Djoko dan beberapa politikus Senayan. Bekas anggota Komisi Hukum DPR, Nazaruddin, bahkan menuduh mereka kecipratan duit dari proyek simulator. Sebanyak Rp 10 miliar dikabarkan mengalir ke tiga fraksi besar di Dewan lewat beberapa politikus.
Kabar tak sedap itu tentu semakin merusak citra partai politik. Hampir semua kasus korupsi yang mencuat selalu bermuara pada para aktor politik. Kendati begitu, para petinggi partai politik semestinya tak kebakaran jenggot bila memang peduli akan pemberantasan korupsi. Partai politik justru perlu mendukung KPK mengusut tuntas kasus itu.
Sering kali politikus hanya bersembunyi di balik dalih "biaya politik yang tinggi dan sumbangan buat partai". Dorongan menggangsir duit negara lebih disebabkan oleh gaya hidup mereka yang tak wajar. Banyak orang tahu, perilaku seperti Djoko yang gemar mengoleksi rumah dan mobil mewah juga menghinggapi banyak politikus.
Dipenjarakannya banyak sekali politikus karena kasus korupsi semestinya membuat politikus jeri. Seharusnya pula muncul gerakan di lingkup internal masing-masing partai untuk membersihkan diri dari korupsi. Tapi inisiatif ini sulit diharapkan. Hingga kini juga tak ada kalangan partai yang meributkan pertemuan politikus Senayan dengan Djoko. Itu sebabnya, publik hanya bisa berharap pada KPK.