Pos dana hibah untuk safari dakwah Partai Keadilan Sejahtera dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Sumatera Barat tak boleh dibiarkan. Meski dana bantuan itu belum dicairkan karena keburu diributkan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pencantuman pos ajaib itu jelas pelanggaran. Inilah modus penyalahgunaan anggaran yang harus diawasi. Bukan mustahil modus serupa marak di daerah lain.
Sekali pandang saja terlihat bahwa proposal safari dakwah PKS itu menabrak banyak aturan. Proposal untuk mendapatkan dana itu berkop Dewan Pengurus Pusat PKS dan ditandatangani Chairul Anwar, Ketua Wilayah Dakwah PKS Sumatera. Padahal, menurut Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang pedoman pemberian dana hibah dan bantuan sosial, hanya ada lima kelompok yang boleh menerima hibah. Masing-masing adalah pemerintah, pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan. Partai politik tidak termasuk di dalamnya.
Disebutkan pula, dakwah--berupa ceramah para petinggi PKS dari Jakarta-akan digelar pada 5-22 Januari 2013 di sepuluh provinsi di Sumatera. Ada kemungkinan dana hibah yang diminta Chairul direncanakan untuk membiayai juga safari di luar Sumatera Barat. Ini terindikasi dari besarnya bantuan dana yang disetujui, yakni Rp 1,94 miliar. Kalau dugaan ini benar, lagi-lagi ini menabrak aturan. Menurut peraturan Mendagri, dana hibah hanya bisa digunakan di daerah bersangkutan, tak boleh nyasar ke wilayah lain.
Tak masuk akal bahwa Gubernur Irwan Prayitno mengaku tak tahu-menahu ihwal proposal dakwah ini. Irwan adalah anggota Dewan Syuro PKS, juga mantan anggota Fraksi PKS di DPR. Sebagai kader partai, sulit dipercaya dia sama sekali tak tahu ada proposal permintaan dana ke Gubernur yang berasal dari partainya sendiri. Makin mengherankan karena Irwan justru menimpakan kesalahan pada Kepala Biro Bina Sosial Jefrinal Arifin.
Jefrinal, yang dibebastugaskan pada 18 Februari lalu, hanya bertugas merekomendasikan para penerima hibah. Rekomendasi itu pun masih harus disaring oleh Sekretaris Daerah sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah. Pada akhirnya, persetujuan tetap ada pada Irwan sebagai gubernur. Bagaimana mungkin kesalahan ini ditimpakan pada bawahannya?
Kasus ini harus diusut setidaknya karena dua alasan. Pertama, agar jangan terulang akal-akalan serupa. Kedua, untuk memastikan layakkah Jefrinal terkena sanksi pembebastugasan. Memang sudah ada upaya DPRD setempat memprakarsai penggunaan hak angket soal kasus ini. Namun usul itu kandas.
Kini, harapan bisa digantungkan pada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Gamawan bahkan harus juga membuka kemungkinan bahwa modus serupa marak di provinsi dan daerah tingkat dua lain. Soalnya, banyak indikasi, praktek begini umum dilakukan partai-partai yang menang pilkada.
Di Sulawesi Selatan, misalnya, modus ini pernah hadir berupa bantuan sosial melalui lembaga swadaya masyarakat. Sedangkan di Sumatera Utara, wujudnya disamarkan dengan kedok pembinaan sosial. Di Jawa Barat pun, saat pilkada, ada dana bantuan desa yang cair menjelang pemilihan sehingga menguntungkan calon inkumben. Ini semua tak boleh dibiarkan.