Memang sudah saatnya program Kartu Jakarta Sehat dievaluasi. Lima bulan program pengobatan gratis ini digulirkan, inisiatif Gubernur DKI Joko Widodo tersebut ternyata membawa dampak yang sebelumnya tak diperhitungkan. Rumah sakit kewalahan akibat ledakan jumlah pasien. Administrasi rujukan yang semrawut memperparah keadaan. Beberapa pasien pun meninggal karena terlambat atau tidak tertangani. Efek samping itu harus diatasi dengan memperbaiki sistem pengelolaan program yang sebetulnya positif ini.
Jokowi sudah mengumpulkan jajaran dinas kesehatan dan direksi rumah sakit se-Jakarta. Ia meminta perbaikan sistem rujukan pasien, mekanisme pembayaran tagihan, audit laporan rumah sakit, penambahan ruang kelas III di RSUD maupun rumah sakit swasta, dan pengaktifan call center 119 untuk memeriksa ketersediaan kamar rawat.
Daftar itu tentu bisa lebih panjang jika berbagai masalah di lapangan diungkapkan. Jumlah dokter, misalnya, sangat jauh dari cukup. Ikatan Dokter Indonesia mencatat hanya ada sekitar 7.000 dokter pegawai negeri sipil di Jakarta dan 200 dokter honorer. Mereka harus menangani lebih dari 300 ribu pasien. Jika program ini ditargetkan bisa menjangkau 4,7 juta orang tak mampu di Jakarta, mustahil para dokter bisa menolong pasien jika jumlah mereka tak ditambah.
Saat ini saja seorang dokter harus menangani lebih dari 100 pasien setiap hari, tiga kali lipat dari jumlah ideal. Seorang dokter bedah bahkan ada yang mengoperasi 15 pasien sehari. Di sebuah puskesmas, karena jumlah pegawai terbatas, seorang dokter honorer yang cuma bergaji Rp 2 juta per bulan juga merangkap menangani pekerjaan perawat dan bahkan bagian pendaftaran.
Kondisi ini jelas memprihatinkan. Akibat kurangnya tenaga medis dan administrasi di puskesmas, tak mengherankan jika klinik di tingkat kelurahan dan kecamatan tak siap menghadapi membeludaknya pasien. Maka, tak terhindarkan, mereka mudah mengeluarkan surat rujukan bagi pasien untuk berobat ke rumah sakit. Padahal pasien yang tak sakit parah semestinya tak perlu dirujuk ke rumah sakit.
DKI memang memprioritaskan penataan sistem rujukan agar rumah-rumah sakit tak kewalahan. Tapi pembenahan itu harus disertai pemenuhan kebutuhan pusat kesehatan masyarakat. Dari 340 puskesmas di DKI, baru 12 yang memiliki fasilitas rawat inap 24 jam. Jumlah ini terlalu sedikit. Begitu pula jumlah dokter umum dan dokter spesialis di puskesmas-puskesmas DKI. Saat ini baru enam puskesmas yang punya dokter spesialis.
Sejumlah kekurangan itu semestinya bisa diantisipasi jika saja program ini dipersiapkan lebih matang. Harus diakui, program populis Jokowi senilai Rp 1,5 triliun per tahun ini tak disertai sosialisasi memadai. Akibatnya, sebagian warga tak tahu bagaimana mendapatkan Kartu Sehat. Di beberapa wilayah, program ini malah tak tepat sasaran.
Tentu semua kelemahan tersebut tak harus menghentikan program yang sangat berguna bagi rakyat kecil ini. Membeludaknya pasien berobat menunjukkan betapa mereka membutuhkan pengobatan murah, bahkan gratis. Selain membenahi program Kartu Jakarta Sehat secara serius, pemerintah DKI perlu menggencarkan promosi tentang hidup sehat. Dengan makin tingginya kesadaran akan hidup sehat, angka kesakitan diharapkan menurun. Pada akhirnya, hal ini akan membantu menekan lonjakan jumlah pasien sakit yang harus ditangani dengan program berobat gratis.