Polisi tak perlu repot-repot menindaklanjuti pengaduan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono. Rabu lalu, Ibas melaporkan Yulianis, bekas Direktur Keuangan Grup Permai, gara-gara menyebut Ibas pernah menerima US$ 200 ribu dari kantor M. Nazaruddin selama kongres partai di Bandung pada 2010. Ibas membantah, lalu balik menuntut Yulianis dengan pasal pidana pencemaran nama baik dan fitnah.
Sebaiknya Kepolisian Daerah Metro Jaya yang menerima aduan Ibas, merujuk pada surat penting yang diedarkan Markas Besar Kepolisian. Badan Reserse Kriminal Polri pernah mengeluarkan edaran bernomor B/345/III/2005 tertanggal 7 Maret 2005 tentang permohonan perlindungan saksi/pelapor. Ditujukan kepada seluruh kepala polda se-Indonesia, isinya berupa petunjuk pelaksanaan dalam menangani kasus korupsi dan pencemaran nama baik yang melibatkan pihak-pihak yang sama.
Surat yang diteken Kepala Bareskrim Inspektur Jenderal Sutarman ini menarik untuk dicermati. Polisi diimbau agar mendahulukan perkara korupsinya, dan menunda laporan pencemaran nama baik dari pihak-pihak yang merasa dinistakan namanya dengan adanya laporan sebuah skandal korupsi. Surat ini menindaklanjuti surat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, 31 Januari 2005, perihal permohonan perlindungan saksi/pelapor yang ditujukan kepada Kapolri.
Beleid itu sejalan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang membuka ruang partisipasi publik dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Susah dibayangkan jika publik diberi ruang untuk berperan serta dalam aktivitas antikorupsi melalui pengungkapan kasus tapi pada saat yang sama mereka terintimidasi: dilaporkan balik dengan sangkaan pencemaran nama baik.
Mudaratnya jelas jika polisi berkeras memproses aduan Ibas. Preseden buruk ini bisa disalahartikan menggeser pendulum kebijakan atasan, dari semula mengutamakan laporan korupsi di atas laporan pencemaran nama baik, kini menjadi sebaliknya. Polisi di daerah bisa kian agresif mengkriminalkan pihak yang mengungkap skandal korupsi dengan jerat pencemaran nama baik. Ini paradoks dengan logika perlindungan yang seharusnya diberikan kepada pelapor kasus korupsi.
Membikin berita acara pemeriksaan berarti mengistimewakan Ibas. Polisi sebaiknya tak mengulang tindakan yang tak sepatutnya ini, sebagaimana dulu memproses aduan Anas Urbaningrum sewaktu menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Penyidik dari Markas Besar Kepolisian di Jakarta rela bersusah-payah datang ke kota kelahiran Anas, Blitar. Jadwal pemeriksaan pun terpaksa dipercepat sehari. Penyidik menemui Anas yang melaporkan bekas temannya, M. Nazaruddin, pada 5 Juli 2011, lantaran telah mencemarkan nama baiknya, via pesan singkat BlackBerry dan wawancara di televisi.
Polisi semestinya menunda memberkas aduan Ibas. Sebab, kalau yang dikatakan Yulianis ternyata benar, pernyataannya itu bukan lagi pencemaran nama baik. Sebaiknya polisi menunggu proses hukum di KPK, yang diharapkan segera memvalidasi pengakuan Yulianis atas mantan anggota Komisi Pertahanan di DPR itu.