Penyerangan terhadap Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, bukanlah peristiwa biasa. Serangan brutal yang menyebabkan empat orang tewas ini bahkan menginjak-injak negara kita yang berlandaskan hukum. Aneh bila pemerintah tidak berusaha mengungkapnya.
Kepolisian terkesan enggan membongkar peristiwa berdarah pada Sabtu lalu itu. Padahal banyak saksi yang melihat, termasuk sipir Lapas Cebongan, yang diintimidasi agar menyerahkan kunci penjara. Ketika empat tahanan itu diberondong peluru hingga tewas pun banyak narapidana yang menyaksikan, tentu saja dengan wajah ketakutan.
Motif serangan itu diperkirakan balas dendam. Keempat tahanan yang ditembak mati adalah tersangka kasus perkelahian di Hugo's Cafe, Sleman, yang menewaskan Sersan Satu Santoso, sepekan sebelumnya. Prajurit Komando Pasukan Khusus Grup II Kandang Menjangan, Kartosuro, ini meninggal akibat luka tusuk. Hanya beberapa jam setelah perkelahian ini, polisi berhasil menangkap para tersangka-salah satu di antaranya bekas anggota kepolisian. Mereka belakangan dititipkan ke Lapas Cebongan.
Panglima Kodam Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Saroso telah membantah bahwa serangan itu dilancarkan oleh Kopassus. Menurut dia, kelompok terlatih yang bisa melakukan penyerbuan seperti itu bukan cuma tentara. Sikap Pangdam ini semestinya tak membuat polisi ciut. Kepolisian, yang telah berkali-kali membuktikan kemampuannya dalam menangkap teroris, seharusnya tak kesulitan mengusut kasus ini.
Indikasi bahwa serangan itu dilakukan oleh orang-orang terlatih cukup benderang. Proses penyerbuan hingga penembakan tahanan berlangsung amat cepat. Pelaku lebih dulu melumpuhkan petugas jaga. Kepala keamanan penjara digelandang agar menunjukkan lokasi sasaran. Untuk menghilangkan jejak, mereka merusak kamera pantau (CCTV).
Kecurigaan terhadap kalangan militer bukan tanpa alasan. Kebetulan belakangan ini tentara tengah menjadi sorotan karena terlibat dalam tindak kekerasan. Puluhan serdadu dari Batalion Artileri Medan Kodam II Sriwijaya, misalnya, belum lama ini menyerang dan membakar Markas Polres Ogan Komering Ulu. Beberapa polisi babak belur dihajar prajurit TNI dan seorang pegawai Polres bernama Edy Maryono meninggal akibat luka bakar.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan juga mencatat, dalam kurun 2004-2013, sedikitnya 87 kasus kekerasan melibatkan anggota militer. Jangan heran bila muncul pula desakan agar peradilan militer direformasi. Tujuannya agar tentara bisa disidang di pengadilan umum jika melakukan tindak pidana.
Memang, belum tentu kalangan tentara adalah pelaku serangan terhadap Lapas Cebongan. Cara ampuh mengklarifikasinya tentu saja dengan membongkar tuntas tragedi itu. Kalangan TNI semestinya membantu kepolisian mengungkap kasus itu. Bahkan, jika perlu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mesti turun tangan. Jangan biarkan pembunuhan terhadap empat tahanan ini menambah catatan hitam sejarah negara kita.