Tidaklah berlebihan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat Luthfi Hasan Ishaaq dengan delik pencucian uang. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera itu pun bukan tersangka korupsi pertama yang dijerat sekaligus dengan pasal ini. Tantangan justru dihadapi penyidik KPK yang kerap sulit membuktikan harta tersangka yang disita benar-benar hasil korupsi.
Semula Luthfi hanya dibidik dengan kasus suap impor daging sapi dalam posisinya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Ia dijaring bersama Ahmad Fathanah, orang dekat tersangka, yang tertangkap tangan menerima uang Rp 1 miliar dari petinggi PT Indoguna Utama. Perusahaan ini merupakan importir daging yang mendapat kuota impor dari Kementerian Pertanian, yang juga dipimpin oleh tokoh PKS. Nah, sejak pekan lalu, Luthfi dijerat pula dengan Undang-Undang Pencucian Uang.
Protes pun datang dari pihak tersangka. Kuasa hukum Luthfi menganggap KPK terburu-buru karena tuduhan menerima suap masih sulit dibuktikan. Alasannya, uang yang dipegang oleh Fathanah dari Indoguna belum sampai ke tangan tersangka. Dengan begitu, kata sang kuasa hukum, bagaimana bisa ia menyamarkan uang suap?
Boleh saja kubu Luthfi membela diri. Tapi upaya KPK justru memperkuat dan melebarkan jaring bagi tersangka. Luthfi tak hanya dituduh mengalihkan atau membelanjakan hasil korupsi (Pasal 3 UU Pencucian Uang) dan menyamarkannya (Pasal 4), tapi juga menerima atau menguasainya (Pasal 5). Kelak, lewat mekanisme pembalikan beban pembuktian dalam persidangan, tersangka dipersilakan membuktikan bahwa hartanya tidak berhubungan dengan kasus suap impor daging sapi.
Dengan tuduhan ganda itu-suap dan pencucian uang-hakim bisa menjatuhkan hukuman secara kumulatif. Hal ini seperti diterapkan terhadap Wa Ode Nurhayati, politikus Partai Amanat Nasional, yang divonis bersalah dalam dua kasus sekaligus. Terbukti menerima suap dalam kaitan dengan pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah dan melakukan pencucian uang, ia dihukum 6 tahun penjara.
Hanya, KPK malah kerap kesulitan bertarung di persidangan dalam pembuktian harta terdakwa. Dalam proses penyidikan, komisi antikorupsi belum maksimal menyelidiki asal-usul harta itu. Nah, saat persidangan, tiba-tiba terdakwa membeberkan bukti bahwa hartanya yang disita KPK diperoleh secara sah. Penyidik sering tak mempunyai waktu lagi untuk membuktikan klaim itu tidak benar.
Kelemahan itu diharapkan segera diperbaiki. Apalagi semakin banyak tersangka korupsi yang dijerat dengan delik pencucian uang. Bukan hanya Luthfi, Inspektur Jenderal Djoko Susilo, tersangka korupsi proyek simulator kemudi, juga dijaring dengan delik yang sama. Harta Djoko yang disita KPK bahkan bertebaran di mana-mana dan beraneka rupa, dari rumah, mobil, hingga "kebun binatang".
Publik akan lebih puas bila koruptor dijebloskan ke penjara sekaligus dimiskinkan. Itu sebabnya, menjerat tersangka kasus korupsi dengan Undang-Undang Pencucian Uang bukan tindakan yang berlebihan, melainkan justru dianjurkan.