Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan bendera resmi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selayaknya disikapi secara hati-hati. Baik pemerintah Aceh maupun Kementerian Dalam Negeri harus menahan diri agar kontroversi ini tak mengorek luka lama. Perdamaian di Aceh yang sudah berjalan delapan tahun ini adalah solusi final yang harus terus dijaga.
Meski bendera yang disahkan itu mirip lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Kementerian Dalam Negeri tak perlu khawatir. Simbol berupa lambang bulan-bintang dan pedang itu, yang disahkan akhir Maret lalu, tidak otomatis bermakna Aceh ingin memisahkan diri.
Lagi pula, nota kesepahaman antara pemerintah dan GAM yang diteken di Helsinki, Finlandia, pada 2005 membolehkan rakyat Aceh memiliki simbol-simbol sendiri. Simbol kedaerahan itu bisa berupa bendera, lambang, atau himne. Nota perdamaian Helsinki itulah yang menjadi dasar lahirnya bendera dan lambang Aceh yang diatur dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2013.
Persoalan bendera Aceh telah memunculkan kecemasan di sejumlah kalangan. Banyak pejabat yakin ada "udang" di balik pengesahan bendera yang diklaim mirip lambang Kesultanan Samudra Pasai itu. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, misalnya, mengaku mendapat laporan, setelah bendera diresmikan, bakal ada pembentukan kepala pemerintahan dan menteri-menterinya.
Ketakutan ini seharusnya dijawab oleh pemerintah Aceh dengan menegaskan kembali komitmen mereka sesuai dengan Nota Helsinki. Kalimat pertama dari nota itu jelas-jelas menegaskan komitmen pemerintah Indonesia dan GAM untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat.
Para politikus Aceh--termasuk para mantan pentolan GAM yang kini berkuasa lewat Partai Aceh--harus membuktikan diri bahwa tiada niat jahat atau motif terselubung apa pun di balik bendera itu. Aceh yang otonom, mengurus wilayahnya sendiri dengan segala keistimewaannya, serta menjadi bagian dari Indonesia adalah jalan damai terbaik. Kita tak ingin konflik berdarah yang sudah puluhan tahun memporak-porandakan Tanah Rencong kembali membara.
Sikap responsif Kementerian Dalam Negeri, yang mengevaluasi Qanun Aceh dan meminta klarifikasi dari Gubernur dan DPR Aceh, patut dipuji. Sikap kalem itu bisa meredakan kontroversi. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi telah mengirim 12 poin koreksi yang mempertanyakan peraturan itu. Pemerintah Aceh punya waktu 15 hari untuk menjawab soal ini. Jika kelak bendera Aceh ini berkembang menjadi simbol gerakan separatisme seperti yang terjadi dalam pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, Kementerian Dalam Negeri berhak membatalkan peraturan tersebut. Sebab, Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 melarang penggunaan simbol separatisme sebagai lambang daerah.
Kontroversi bendera Aceh ini adalah ujian komitmen semua pihak. Dalam mencari titik temu, penting untuk mengingat kembali paragraf keempat pengantar Nota Helsinki. Di sana disebutkan adanya kesediaan semua pihak untuk bersama-sama membangun rasa saling percaya. Jangan biarkan kepentingan jangka pendek mencederai rasa saling percaya yang sudah mulai terbangun di Aceh. (*)