Keputusan melarang sejumlah pelajar mengikuti ujian nasional dengan alasan telah melanggar tata tertib patut disayangkan. Pelanggaran tata tertib adalah pelanggaran disiplin, yang tak bisa menghapus hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Undang-Undang Dasar menjamin setiap warga negara mendapatkan pendidikan yang layak. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mesti mencabut larangan itu. Apalagi masa ujian nasional sudah di depan mata.
Saat ini, menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak, ada 13 pelajar SMA dan sembilan siswa SMP yang terancam tidak dapat mengikuti ujian nasional. Angka itu mungkin bisa lebih besar karena tak semua siswa yang bernasib serupa melapor ke Komisi. Para pelajar dari berbagai wilayah itu--dari Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur hingga Tangerang, Banten-dikeluarkan dari sekolah. Padahal sebentar lagi mereka harus menghadapi ujian nasional. Alasan hukuman ini beragam. Ada yang hamil di luar nikah, ada yang telanjur menikah dini, atau mencandu narkoba.
Kasus terbaru menimpa Sudirman, yang mengadu ke Komisi Anak pada Selasa lalu. Siswa kelas XII SMA Negeri 7 Kresek, Tangerang, ini dikeluarkan dari sekolah bulan lalu. Niatnya mengikuti ujian nasional agar lulus SMA sebagaimana teman-temannya pun kandas. Padahal alasan pemecatannya sepele, sama sekali bukan tindak pidana. Sudirman, menurut kepala sekolahnya, Haryawan, melanggar perjanjian untuk tidak menikah selama menempuh pendidikan di sekolah itu.
Sekolah tentu saja harus menegakkan tata tertib. Siswa yang melanggar pun harus diberi hukuman yang bersifat mendidik. Namun mencabut hak pelajar untuk mendapatkan pendidikan bukan hanya tidak mendidik, tapi juga berpotensi merusak masa depannya. Jangankan pelajar yang melanggar tata tertib sekolah, pelajar yang sudah terbukti melakukan kejahatan pun tak boleh kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan.
Pernyataan Haryawan bahwa Sudirman masih bisa mengikuti Ujian Paket C terkesan menggampangkan persoalan. Ujian penyetaraan untuk tingkat SMA ini diadakan bagi mereka yang tidak menempuh pendidikan SMA secara formal, sedangkan Sudirman baru sebulan ini tidak bersekolah. Ia bahkan telah sempat mengikuti ujian akhir sekolah pada awal Maret dan membayar uang SPP Rp 500 ribu. Pemecatan Sudirman menimbulkan kesan bahwa sekolah ingin lepas dari tanggung jawab, mencari cara gampang demi menjaga nama sekolah.
Para guru seharusnya memahami bahwa pendidikan tak bisa diartikan secara sempit sebagai pemenuhan hak bersekolah saja. Pendidikan adalah jembatan untuk pemenuhan hak yang lebih luas, yaitu hak mendapatkan pekerjaan yang layak kelak setelah lulus. Menghukum anak dengan mengeluarkannya dari sekolah hanya karena melanggar tata tertib adalah hukuman yang terlalu berat. Hukuman ini sama artinya dengan mencabut masa depan si anak yang masih sangat panjang.
Kementerian dan Dinas Pendidikan harus segera memerintahkan sekolah untuk mencabut pemecatan itu. Kalaupun harus dikenai hukuman disiplin, mereka mesti tetap diizinkan mengikuti ujian nasional. Semangat mendidiklah yang harus ditekankan dalam hukuman disiplin kepada siswa, bukan hukuman yang membuat mereka trauma dan mempengaruhi masa depannya.