Cukup sudah pelajaran pahit dari merebaknya wabah virus flu burung pada 2004. Kali ini, pemerintah tak boleh lengah lagi. Ancaman varian virus flu burung baru berkode H7N9 sekarang tak boleh diabaikan. Sudah semestinya, peristiwa mewabahnya virus yang sekarang terjadi di Cina mendapat perhatian besar.
Bahaya ancaman virus mematikan ini telah diumumkan pemerintah Negeri Tirai Bambu sejak awal pekan ini. Virus H7N9 telah menyebar ke beberapa distrik dan menulari manusia. Sudah ditemukan 18 kasus yang menyebabkan enam orang meninggal dunia.
Untuk membendung penyebaran virus, sejumlah pejabat pemerintah provinsi di Cina telah menghentikan aktivitas perdagangan unggas hidup. Meski belum ada tanda-tanda terjadi penularan dari manusia ke manusia, pasien yang terinfeksi telah diisolasi.
Kejadian di Cina ini harus ditindaklanjuti pemerintah Indonesia dengan menyiapkan langkah preventif. Langkah ini perlu dilakukan karena, selain dapat menyebar secara masif, virus H7N9 sudah terbukti bisa menular kepada manusia. Menjadi mengkhawatirkan karena Kementerian Kesehatan menyatakan belum menemukan cara yang tepat menangani virus ini jika masuk ke Indonesia.
Pemerintah mesti belajar dari kejadian penyebaran virus sejenis H5N1 pada 2004-2005. Ketika itu, pemerintah tidak sungguh-sungguh melaksanakan tindakan pemusnahan unggas. Masyarakat pun, khususnya mereka yang bersentuhan dengan unggas, kerap sembrono dalam urusan menjaga kesehatan pribadi dan lingkungan. Iklim tropis dengan cuaca yang nyaman bagi virus membuat Indonesia menjadi tempat subur bagi perkembangbiakan virus flu burung.
Keteledoran itu berubah menjadi kepanikan ketika korban terus berjatuhan. Reaksi pemerintah bagai pemadam kebakaran, tunggang-langgang mencari solusi. Walhasil, jurus sapu bersih memusnahkan unggas di kawasan permukiman pun dijalankan. Pemerintah pusat melimpahkan wewenang pemerintah daerah untuk memusnahkan unggas. Ratusan miliar rupiah anggaran negara habis untuk membayar ganti rugi unggas dan membeli vaksin.
Jurus panik seperti itu terbukti tidak efektif. Kampanye cuci tangan setelah berinteraksi dengan unggas, misalnya gencar digeber setelah puncak flu burung pada 2006 (dengan 55 kasus). Jelaslah terlambat. Program ini pun kendur seiring dengan meredanya kasus flu burung. Sebagai catatan, sejak 2005 sampai awal 2012, di Indonesia terdapat 184 pasien flu burung, dan 152 orang di antaranya tewas.
Sudah tepat kebijakan Kementerian Pertanian menghentikan impor bulu bebek dari Cina untuk mengantisipasi masuknya virus. Namun langkah ini mesti diikuti kampanye nasional pencegahan penyebaran virus H7N9.
Pemerintah pusat mesti mengambil komando kampanye antisipasi penyebaran virus mematikan ini. Seluruh dinas kesehatan daerah tingkat satu dan dua mesti digerakkan untuk berfokus pada kegiatan pencegahan melalui pengawasan dan edukasi menjaga kebersihan kepada masyarakat. Kegiatan bio-security atau perlindungan dan pengamanan ternak unggas di Indonesia yang masih sangat lemah mesti segera ditingkatkan.
Kegiatan pembersihan area peternakan unggas di seluruh wilayah Indonesia menjadi prioritas. Bukan hanya kandang, peralatan yang masuk ke peternakan juga mesti bersih. Program lain adalah sosialisasi cuci tangan menggunakan sabun setelah beraktivitas dan sebelum makan. Memang sepertinya ini sepele, tapi ternyata kebiasaan hidup jorok seperti ini menjadi jalur cepat virus flu burung menyebar ke manusia.