Dewan Perwakilan Rakyat semestinya segera menyelesaikan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Nomor 42 Tahun 2008. Menunda pembahasan hanya memperpanjang debat yang semakin hari semakin riuh-rendah. Padahal, dalam persiapan pemilu tahun depan, banyak masalah yang harus segera selesai. Yang paling mengundang pro dan kontra adalah Pasal 9, yang mengatur soal syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.
Undang-Undang Nomor 42/2008 menyatakan "pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu". Syaratnya, "partai atau gabungan partai itu memperoleh kursi paling sedikit 20 persen kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden".
Ambang batas pencalonan presiden ini selalu saja memicu perdebatan setiap kali masa pemilu tiba. Argumentasi yang dikemukakan dari pemilu ke pemilu juga tak banyak berubah. Partai dengan perolehan suara menengah dan kecil biasanya menghendaki presidential threshold serendah mungkin. Tujuannya jelas, agar partai menengah dan kecil bisa ikut mengusung calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan partai besar cenderung menginginkan ambang batas suara dipatok setinggi mungkin agar semakin sedikit pesaing yang memenuhi syarat mencalonkan presiden.
Patut disesalkan, Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan ambang batas presidential threshold setinggi 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara dalam pemilu itu konstitusional. Putusan ini tergolong kontroversial. Soalnya, UUD 1945 hanya menyebutkan pasangan calon presiden diusulkan oleh partai atau gabungan partai. Konstitusi tidak menuliskan syarat tambahan apa pun, termasuk batas perolehan suara partai pengusung.
Sebaiknya semua pihak merujuk pada konstitusi dalam penetapan ambang batas pencalonan presiden ini. Konstitusi tidak membatasi kesempatan bagi partai peserta pemilu untuk mencalonkan presiden. Artinya, 12 partai peserta Pemilu 2014 masing-masing semestinya bisa mengajukan satu pasangan calon presiden mereka. Kesempatan ini akan membuat partai lebih bersemangat. Peluang itu akan menjadi "nilai jual baru" bagi partai untuk menggalang sokongan rakyat.
Khalayak pasti akan lebih bergairah memilih nama-nama calon presiden baru, mengingat --terus terang--nama-nama yang beredar sekarang kurang menarik. Siapa tahu suasana yang lebih kompetitif bakal melahirkan kejutan-kejutan yang mendobrak kejumudan suasana politik sekarang ini.
Memang perlu disadari, kesempatan setiap partai mencalonkan presiden itu akan melahirkan sejumlah dampak. Misalnya, tampilnya calon presiden "karbitan" yang sesungguhnya belum pantas muncul, calon presiden yang "membeli" dukungan partai tertentu, atau partai yang "menjual" tiket pencalonan presiden kepada partai lain.
Tak perlu galau menghadapi kemungkinan ini. Konstitusi menyediakan mekanisme saringan berupa putaran kedua untuk dua pasangan calon presiden yang mendapat suara paling banyak. Dari sana akan terpilih satu pasangan calon pemimpin yang paling pantas menerima mandat rakyat.