Sia-sia mengkritik anggota Dewan Perwakilan Rakyat ihwal kinerja mereka yang jeblok hingga soal korupsi. Kecaman tak didengarkan oleh para pemimpin partai politik. Sebagian besar anggota Dewan yang mengecewakan itu malah dicalonkan kembali. Ini menunjukkan arogansi partai-partai sekaligus melecehkan rakyat yang mulai pintar.
Melihat perilaku buruk politikus Senayan selama ini, akal sehat tentu merekomendasikan: 90 persen dari mereka tak pantas mewakili rakyat. Tapi sikap partai bertolak belakang. Jauh hari, Partai Golkar sudah menyatakan akan memajang kembali sekitar 80 persen politikusnya di DPR dalam daftar calon legislator. PDI Perjuangan dan Demokrat bahkan akan menyodorkan sekitar 90 persen kadernya di Senayan. Partai-partai lain tak jauh berbeda. Beberapa partai baru malah menampung banyak politikus lama yang dikenal bermasalah.
Sebagian besar anggota DPR jelas tidak memiliki integritas dan komitmen membenahi negara ini. Banyak politikus menyalahgunakan kekuasaan untuk menggangsir anggaran negara. Perilaku mereka pun tak patut dicontoh: suka jalan-jalan ke luar negeri dengan alasan studi banding, sering membolos rapat, tak becus sekaligus lamban membuat undang-undang, sering memusuhi pejabat yang mau bekerja jujur, dan melawan upaya pemberantasan korupsi.
Jangan-jangan partai memberi penilaian sebaliknya atas kader yang bermasalah itu. Anggota DPR yang sering disangkut-pautkan dengan kasus korupsi--bahkan beberapa di antaranya telah masuk penjara--malah dianggap berjasa karena mungkin menyetor banyak duit ke partai. Kinerja sebagai legislator yang buruk dimaklumi karena mereka terlalu sibuk bermain proyek. Jika kecurigaan ini benar, sungguh malang rakyat yang selama ini memberikan kepercayaan kepada partai-partai untuk mengelola negara ini.
Partai juga tak mempertimbangkan pentingnya mengorbitkan kader. Mencalonkan lagi mayoritas politikus Senayan--sebagian dari mereka sudah menjabat selama dua periode--akan menutup peluang tampilnya kader lain. Kendati undang-undang tak membatasi masa jabatan di DPR, partai sebetulnya bisa mengaturnya secara internal. Peluang kader di bawah pun semakin tertutup karena partai suka pula mengambil jalan pintas: merekrut artis atau figur dari luar hanya dengan alasan popularitas, dan bukan karena kemampuan dan integritas mereka.
Kemampuan partai mencetak kader yang bagus tentu akan dinilai pula oleh masyarakat. Begitu pula tawaran mereka mengenai solusi konkret bagi negara ini. Mungkin masyarakat kita sering mudah lupa dan gampang dibodohi. Tapi keliru besar bila tipu daya bisa dilakukan berkali-kali. Jargon seperti "bersih, peduli, santun, pro-rakyat, dan membangun negara" akan kehilangan daya pikat karena kader partai mereka berperilaku sebaliknya dan dilindungi oleh partai.
Di antara calon legislator yang disodorkan, tiada tanda kalangan partai membenahi diri. Kekuasaan besar yang mereka pegang selama era reformasi ini boleh jadi membuat para pemimpin partai terlena. Sikap ini berbahaya, karena rakyat bisa kehilangan kepercayaan terhadap partai sekaligus mekanisme demokrasi.