Penangkapan Iyus Djuher menambah panjang deretan politikus yang terjerat kasus korupsi. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bogor ini diduga terlibat suap untuk memuluskan izin pembangunan kuburan mewah. Ini menunjukkan bahwa politikus tak pernah jeri melakukan korupsi, kendati banyak di antara mereka telah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kader Partai Demokrat itu dicokok oleh penyidik KPK, menyusul penangkapan beberapa pegawai Kabupaten Bogor dan Sentot Susilo, bos PT Garindo Perkasa, sehari sebelumnya. Dalam operasi tangkap tangan ini penyidik menyita duit suap Rp 800 juta yang berasal dari Sentot. Uang tersebut sudah berpindah ke mobil salah seorang pegawai kabupaten. Iyus disebut-sebut pula terlibat dalam urusan izin penggunaan lahan untuk kuburan mewah yang akan dibangun PT Garindo.
Peran Bupati Kabupaten Bogor Rachmat Yasin juga sedang diselidiki oleh KPK. Soalnya, pemberian izin penggunaan lahan merupakan wewenang bupati. Sebelumnya, politikus Partai Persatuan Pembangunan ini pernah dipanggil sebagai saksi oleh KPK dalam kaitan dengan pembebasan tanah untuk proyek Hambalang.
KPK mesti membongkar keterlibatan sang bupati dalam kasus suap izin kuburan ini. Tidaklah masuk akal pegawai kabupaten berani "menjual" perizinan bila mereka tak mendapat lampau hijau dari atasannya. Apalagi ada peran Ketua DPRD di situ. Modus jual-beli perizinan juga bukan hal baru. Sebelumnya, KPK telah menjerat Bupati Buol Amran Batalipu lewat kasus suap penerbitan izin perkebunan bagi PT Citra Cakra Murdaya. Ia dituduh menerima suap dari Hartati Murdaya, bos perusahaan ini.
Tak meredanya korupsi di kalangan politikus itu amat memprihatinkan. Asumsi bahwa korupsi justru semakin meningkat menjelang pemilu jangan-jangan benar adanya. Data Indonesia Corruption Watch menyebutkan 24 kepala daerah terlibat kasus korupsi sepanjang 2012. Adapun wakil rakyat di pusat dan di daerah yang terjerat korupsi berjumlah 52 orang. Bisa jadi, tahun ini akan lebih banyak politikus ditangkap.
Partai politik berperan besar untuk menghentikan kerakusan para kadernya di DPR, DPRD, maupun pemerintahan. Besarnya biaya politik, termasuk dana kebutuhan partai, sering disebut sebagai pemicu korupsi. Partai semestinya mengupayakan sumber pendanaan di luar duit hasil korupsi. Dengan begitu, partai bisa mencegah kadernya melakukan korupsi, bukan malah terkesan mendorongnya seperti terjadi selama ini.
Sudah saatnya pula penegak hukum menghukum berat sekaligus memiskinkan koruptor. Ganjaran yang ringan tak akan membuat takut para politikus. Sebagian dari mereka bahkan berupaya tampil lagi di panggung politik setelah beberapa tahun dibui.
Hanya, hukuman yang paling efektif justru dari masyarakat. Rakyat mesti memberi sanksi keras bagi politikus yang korup dan partai yang menenggang korupsi. Caranya cuma satu: jangan pilih mereka. Toleransi masyarakat terhadap politikus korup atau bermasalah akan menyulitkan pemberantasan korupsi.