Rencana pemerintah menerapkan dua harga penjualan bahan bakar minyak sungguh keputusan tanggung. Per Mei, atau paling lambat Juni nanti, pemerintah akan memaksa pengguna kendaraan pribadi dan dinas membeli BBM dengan harga Rp 6.500. Sebaliknya, angkutan umum dan sepeda motor masih boleh membeli BBM dengan harga lama, Rp 4.500 per liter.
Sepintas, ini seperti jalan tengah yang menguntungkan semua pihak. Di satu sisi, pemakai kendaraan pribadi/dinas dianggap tak keberatan membayar BBM lebih mahal. Di sisi lain, pengguna angkutan umum dan sepeda motor tak akan terpengaruh kenaikan harga. Yang tidak dihitung, jalan tengah itu tak bakal efektif, bahkan merepotkan. Sulit membayangkan kebijakan tersebut bisa berjalan tanpa pengawasan ketat. Selisih Rp 2.000 per liter pastilah sangat menggiurkan untuk diakali.
Sekarang saja larangan kendaraan dinas membeli BBM bersubsidi tidak berjalan efektif. Banyak laporan bahwa mobil pelat merah ternyata dengan mudah mengisi bahan bakar berharga subsidi. Berbagai modus akal-akalan pun sudah jamak diketahui. Misalnya, membeli BBM bersubsidi menggunakan angkutan umum, lalu menjualnya ke pemakai kendaraan pribadi dengan sedikit selisih keuntungan.
Bahkan mekanisme menjatah pembelian BBM bersubsidi pun tak banyak berguna. Masalahnya lagi-lagi pengawasan. Bakal sulit memastikan ribuan angkutan umum telah habis kuota pembeliannya pada hari itu sehingga tak boleh lagi membeli BBM untuk dijual. Pendek kata, disparitas harga secara alamiah menciptakan pasar gelap. Di sinilah kebocoran demi kebocoran akan terjadi.
Bahkan, dari sisi penghematan pun, kebijakan dua harga itu tak banyak gunanya. Dengan skema dua harga, penghematan subsidi BBM yang didapat hanya Rp 21 triliun. Angka ini tak ada apa-apanya dibanding lonjakan subsidi BBM yang sampai Maret saja sudah mencapai Rp 193,8 triliun.
Semestinya pemerintah membuat keputusan lebih berani. Kalau tak mau menanggung risiko sosial dan politik jika sama sekali menghapus subsidi BBM, jalan tengah lebih sederhana masih bisa dilakukan. Caranya, menaikkan harga BBM pukul rata, tanpa pembedaan harga. Kenaikan itu tak usah tinggi, cukup Rp 1.500, sehingga per liter BBM menjadi Rp 6.000. Dengan kenaikan ini saja, subsidi bisa dihemat hingga Rp 56 triliun. Ini dua kali lipat nilai penghematan yang didapat dengan model dua harga tersebut. Masih ada bonus tambahan bagi pemerintah: tak perlu repot-repot melakukan pengawasan, tak usah keluar uang lagi untuk membangun pompa bensin baru.
Keputusan berani itu diperlukan karena subsidi BBM kita sudah mencapai angka yang tak masuk akal. Tahun lalu saja, subsidi sudah mencapai Rp 211,9 triliun. Angka ini melesat jauh dari kuota subsidi dalam APBN-P sebesar Rp 137,4 triliun. Tahun ini, jika tak segera dibatasi, subsidi bakal lebih membengkak. Apalagi jika nilai mata uang dolar naik. Setiap kenaikan US$ 1, subsidi bertambah Rp 500 miliar.
Besarnya subsidi BBM itu makin tak masuk akal dibanding kecilnya subsidi untuk sektor publik. Subsidi kesehatan, misalnya, dalam APBN hanya dipatok Rp 16,6 triliun. Begitu pula listrik dan pendidikan, masing-masing dijatah Rp 80,9 triliun dan Rp 103,6 triliun. Perbandingan angka ini semestinya membuat pemerintah berani menaikkan harga BBM. Dengan menaikkan harga, anggaran bisa dialihkan untuk menambah subsidi sektor publik lain.