Ketidaksiapan Indonesia mengikuti Frankfurt Book Fair di Jerman patut disayangkan. Inilah festival buku dan karya sastra bergengsi tingkat dunia. Khusus pada 2015 nanti, Indonesia terpilih sebagai peserta kehormatan. Ini merupakan status istimewa karena setiap tahun hanya satu negara yang mendapat posisi tersebut. Maka, jika sampai sekarang pemerintah belum menunjukkan perhatian serius, jangan-jangan kehormatan itu akan sia-sia. Peluang menampilkan Indonesia bukan hanya dalam karya sastra tapi juga bidang lain, termasuk pariwisata, bakal terbuang percuma.
Banyak tanda bahwa pemerintah belum melakukan persiapan serius. Dengan status tamu kehormatan, Indonesia boleh melakukan berbagai kegiatan jauh sebelum pameran dimulai. Misalnya, rangkaian pameran atau pementasan karya teater di Jerman. Atau, mempersiapkan 50-100 pengarang untuk berkeliling Jerman. Kegiatan pemanasan ini sangat strategis karena Indonesia mendapat kesempatan berpromosi di depan komunitas internasional. Jika persiapan tak juga dilakukan sejak sekarang, Indonesia bakal "keteteran" kelak.
Persiapan yang belum juga terlihat adalah penerjemahan 100 karya sastra Indonesia ke bahasa Jerman. Sulit dibayangkan, dalam sisa waktu hanya dua tahun, Indonesia mampu memenuhi kewajiban ini. Pastilah tidak mudah mencari penerjemah 100 karya sastra yang sanggup membuat alih bahasa bermutu dalam kurun waktu begitu singkat. Belum lagi karya sastra itu harus dipromosikan sejak jauh hari agar mendapat perhatian tamu Frankfurt Book Fair.
Yang paling mencemaskan adalah macetnya penekenan kontrak antara pemerintah Indonesia dan pihak panitia. Ada ganjalan soal administrasi hukum. Panitia menginginkan kontrak dengan dasar hukum Jerman. Sebaliknya, Indonesia, karena acara dengan biaya Rp 50 miliar ini berasal dari APBN, ingin menggunakan dasar hukum Indonesia. Semestinya persoalan ini bisa dicarikan jalan tengah. Selama bisa dipastikan uang APBN itu digunakan dengan benar, pemerintah tak perlu takut mempertanggungjawabkannya.
Kalaupun kesulitan mengeluarkan dana APBN sebesar itu, bisa saja pemerintah berinisiatif mencari sponsor. Untuk acara tingkat dunia seperti ini, peluang mendapatkan sponsor sangatlah terbuka. Misalnya, menggalang perusahan-perusahaan swasta menghimpun dana. Atau membujuk rumah-rumah seni, galeri, dan filantropis ikut menyumbang.
Seharusnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang bertanggung jawab atas acara ini, tidak menempatkan Frankfurt Book Fair sekadar sebagai ajang pameran buku. Maknanya jauh lebih besar. Inilah bentuk diplomasi "soft power" yang mesti menjadi ujung tombak Indonesia dalam bergaul dengan warga dunia.
Indonesia bisa mencontoh pemerintah Korea Selatan yang sangat peduli terhadap pemasaran kebudayaan. Di Ibu Kota Seoul saja, ada sekitar 100 museum. Para pengelola museum aktif memburu karya seni legendaris dunia, termasuk karya Picasso. Mereka yakin, dengan cara itu, Korea akan berkembang bukan hanya sebagai raksasa industri, tapi juga kiblat budaya. Bahkan pemerintah Korea sangat agresif mendukung penyebaran budaya popnya ke penjuru dunia. Mewabahnya film drama Korea dan histeria Gangnam style bukanlah kebetulan. Itulah produk strategi budaya mereka. Ketika dunia menggandrungi budaya pop Korea, dengan mudah mereka dicekoki untuk melahap semua produk negara itu.
Misi seperti itulah yang semestinya dilakukan pemerintah Indonesia. Perhelatan Frankfurt Book Fair bisa menjadi batu loncatan strategis. Sayang sekali jika peluang itu tersia-siakan. *