Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Belajar Dari Pengalaman

Oleh

image-gnews
Iklan
AMANGKURAT I dari istananya lari ke arah Tegal karena pemberontakan Trunojoyo. Satu episode kecil yang menarik, ialah cerita tentang bagaimana rombongan raja Jawa itu berunding buat pertama kalinya dengan orang-orang kumpeni Belanda. Seorang bupati, kata yang empunya cerita, marah ketika ia melihat seorang pejabat kumpeni menghadap Sultan seraya berdiri. Kemarahan dapat dileraikan, tapi insiden itu menunjukkan di abad ke-17 itu, seorang pribumi bisa marah atau tertawa melihat adat orang putih, tapi tanpa sikap defensif. Dia hanya melihat sesuatu yang janggal, tapi tak perlu mengambil sikap untuk "mempertahankan kebudayaan sendiri." Sebagaimana ia juga tak merasa perlu untuk meniru adat lain itu. Tapi sejarah dengan cepatnya setelah itu mendesakkan kehadiran "Barat" ke tengah kita. Di akhir abad ke-19 Kartini menyebut pantai Bandengan di Jepara sebagai "Klein Scheveningen", seraya ia membayangkan pantai Scheveningen di Negeri Belanda yang dibacanya dari buku. Ia bermimpi dengan tekad untuk bersekolah ke Eropa. Ia banyak mengecam adat ningrat Jawa. Tapi ia pada ketika lain juga mengatakan, lewat suratnya: "Kami sekali-kali tidak ingin membuat murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa . . . " Kartini juga tak lepas dari kenyataan zamannya: ia harus defensif. Begitu "kebudayaan Barat" disebut, seorang di Timur seperti merasa harus mengambil sikap. Kita seakan-akan tidak dapat melihatnya lagi dengan netral. Hampir tiap tulisan kaum cendekiawan kita tentang kebudayaan sejak akhir abad ke-19 sampai dengan kini, dengan jelasnya menunjukkan itu. Salah satu puncaknya, tentu saja, ialah seperti yang dikumpulkan dalam buku terkenal Polemik Kebudayaan. *** DI Iran, 1979, Ayatullah Khomeini juga berbicara tentang "Barat". Ia juga contoh dari suatu masa yang tak bisa lepas -- seperti terdesak -- dari hegemoni kebudayaan Barat itu, yang di Persia telah cukup luas menembus sejak ia belum lahir. Maka sementara menghadapi Shah Iran ia mencita-citakan suatu republik, pada pihak lain ia juga berbicara "Demokrasi, itu adalah Barat, dan kami tak menghendakinya. Kami tak menghendaki apa pun dari Barat serta anarkinya." Seperti ditulis oleh Mortea Kotobi, seorang ahli sosiologi di Universitas Teheran dalam Le Monde Diplomatique April 1979 tentang gagasan-gagasan Ayatullah Khomeini, bagi tokoh ini "tak ada dialektik yang mungkin antara sistim Islam dengan non Islam." Mungkin itu pula sebabnya proses peradilan yang kini banyak terdengar dari Iran, dengan hukuman tembaknya, adalah begitu rupa tak ada pembela, tak ada hak naik banding, dan jelas tak ada asas praanggapan tak bersalah. Hukum acara perdata sedemikian, yang "ruwet", juga berbau "Barat" dan mungkin mengharuskan institusi-institusi yang terdapat di negeri Barat. Jadi buat apa diturut? Yang sering dilupakan ialah bahwa dunia Barat justru datang kepada hal-hal yang "ruwet" itu dari suatu masa lalu yang tidak "ruwet". Revolusi Perncis di abad ke-15 lebih cepat lagi dalam membersihkan musuh-musuhnya untuk dipotong di bawah guillotine. Dan sejarah Eropa tidak berhenti sampai di situ dalam hal efisiensi kekejaman Hitler baru hilang kurang dari 40 tahun yang lalu. Namun betapa pun harus dicatat bahwa tiap kali Barat terkejut, lalu menyusun catatan dan membenahi pengalamannya yang dahsyat. Apa pun yang kita katakan tentang orang di Eropa itu, mereka belajar dari pengalaman. Tidak terlampau istimewa sebenarnya -- kecuali kenyataan bahwa bangsa-bangsa di luar mereka, yang konon lebih tua peradabannya, sampai kini nampaknya belum sempat belajar. Kesewenang-wenangan hari kemarin mudah dibiarkan berulang di hari esok. Padahal bila kita malu mengingat kesewenang-wenangan bangsa sendiri, kita toh masih bisa mengingat kesewenang-wenangan di Barat itu -- untuk suatu koreksi.
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

2 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

44 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

48 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

49 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.