Betapa berlebihan sanksi buat lima siswa SMA 2 Tolitoli, Sulawesi Tengah. Mereka dipecat dari sekolah sekaligus dilarang ikut ujian nasional karena membuat video yang dianggap menghina agama. Sekolah semestinya memisahkan urusan pendidikan dari kasus hukum yang mereka hadapi. Sanksi itu amat kejam lantaran merampas hak siswa untuk menyelesaikan pendidikan.
Pengelola SMA itu seharusnya pula mempertimbangkan apakah perilaku kelima siswa tersebut merupakan pelanggaran yang serius atau sekadar kenakalan remaja. Boleh jadi, perbuatan itu hanya iseng dan spontan. Mereka berjoget di depan kamera telepon seluler dengan mengikuti irama musik One More Night dari Maroon 5, kelompok musik Amerika Serikat yang sedang populer. Keadaan jadi runyam karena gadis-gadis muda itu mencampur joget mereka dengan gerakan salat, seperti ruku dan sujud.
Hal itulah yang dianggap menghina Islam, sehingga Kepolisian Resor Tolitoli menetapkan lima siswa tersebut sebagai tersangka penistaan agama. Mereka dijerat dengan Pasal 156a KUHP, yang mencantumkan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Ganjaran ini berlaku bagi orang yang dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan di muka umum yang bersifat permusuhan atau penodaan atas suatu agama.
Polisi seharusnya berhati-hati memberlakukan pasal itu terhadap remaja yang mungkin tak menyadari akibat perbuatan mereka. Bisa saja kelima siswa itu tidak menyadari bahwa ulah mereka masuk kategori menistakan agama. Jika mereka tidak paham dan tidak menyadari konsekuensi perbuatannya, tentu sulit disebut sengaja menghina agama.
Proses hukum yang dijalani siswa itu tak boleh pula dicampuradukkan dengan urusan sekolah atau ujian nasional. Apalagi kelima siswa itu tidak ditahan. Sekolah semestinya tetap memberi mereka kesempatan untuk mengikuti ujian nasional. Hak ini bahkan tak bisa dilenyapkan sekalipun siswa dinyatakan bersalah dan divonis hukuman penjara.
Bukan hanya dalam kasus ini kalangan pendidik memberi hukuman berlebihan terhadap siswa. Di banyak daerah, sekolah juga sering melarang siswanya ikut ujian nasional karena telah hamil atau menikah. Sanksi seperti ini jauh dari nilai-nilai pendidikan. Sekolah tidak memecahkan problem yang dihadapi siswa, melainkan malah menyingkirkannya dari sekolah.
Sikap yang lepas tangan juga terlihat dalam kasus di SMA 2 Tolitoli. Sekolah semestinya memberi sanksi yang bertujuan mendidik, bukannya menghancurkan masa depan siswa. Jika perlu, kalangan pendidik dan sekolah malah membantu dan membimbing mereka dalam menghadapi proses hukum.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu segera meluruskan para pendidik yang tidak bijak itu. Kementerian ini juga bisa meminta dinas pendidikan setempat turun tangan. Kelima siswa itu sebaiknya diberi kesempatan mengikuti ujian nasional susulan. Jangan biarkan sekolah memberi sanksi yang menghancurkan masa depan siswa.