Rasanya tidak berlebihan kalau Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji dinobatkan jadi bintang koruptor Indonesia. Mantan jenderal polisi berbintang tiga ini sudah jelas-jelas divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung, tapi toh para jaksa seperti kehabisan akal menghadapinya.
Tak seperti Djoko Tjandra atau konglomerat hitam lain yang memilih berkelit dari jerat hukum dengan kabur ke luar negeri, Susno tak bersembunyi. Dia malah bikin video testimoni di media sosial YouTube. Bahkan dia masih sempat mendaftar menjadi calon legislator dalam Pemilu 2014. Dengan polahnya itu, dia seperti menertawai hakim, jaksa, dan polisi sekaligus.
Parodi hukum ini makin lengkap pada Rabu lalu. Puluhan jaksa yang mengepung rumah mewah Susno di kawasan elite Dago Pakar, Bandung, Jawa Barat, disambut deretan polisi dari Kepolisian Daerah Jawa Barat. Ada juga puluhan pemuda anggota Brigade Hizbullah--organisasi massa yang terafiliasi dengan Partai Bulan Bintang-yang terang-terangan mengaku hendak mengawal Susno.
Seluruh rakyat Indonesia menyaksikan drama ini lewat media. Tanpa malu-malu, polisi menghalangi jaksa yang hendak membawa Susno ke penjara. Tim pembela Susno, yang dipimpin mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, ikut menghadang dengan segudang argumentasi untuk menolak eksekusi.
Apa yang akan terjadi ketika publik menyaksikan hukum dipermainkan seenak perut? Kesimpulan macam apa yang muncul di benak khalayak ketika tafsir atas putusan pengadilan bisa dibengkokkan ke sana kemari sesuai dengan kepentingan dan salah-benar jadi bergantung pada kecakapan bersilat lidah? Itulah yang sejatinya dipertaruhkan dalam kasus Susno ini. Kegagalan jaksa melaksanakan putusan Mahkamah Agung mengirim pesan ke semua orang bahwa hukum ternyata tak adil. Seseorang yang dinyatakan bersalah oleh hakim ternyata bisa secara telanjang berkelit dari hukum.
Susno dan pengacaranya boleh saja terus-menerus berlindung di balik putusan Mahkamah Konstitusi soal Pasal 197 ayat 1 huruf (k) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Mereka boleh saja yakin bahwa putusan Mahkamah Agung yang tidak disertai perintah penahanan tak bisa dieksekusi. Tapi perdebatan itu sesungguhnya tak relevan lagi. Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan bahwa tafsir pengacara Susno itu tidak tepat.
Sungguh menggelikan sekaligus menyedihkan melihat bagaimana polisi dan jaksa tak kompak menegakkan hukum. Mereka terjebak dalam permainan adu tafsir pasal, sesuatu yang seharusnya bukan porsi mereka. Ketika Kepolisian Daerah Jawa Barat menyediakan markasnya sebagai tempat perlindungan Susno, jungkir balik hukum kita lengkap sudah.
Semua ini seharusnya tak terjadi kalau saja Kepala Kepolisian RI dan Jaksa Agung cergas menangani masalah ini. Ketika tim jaksa eksekutor tak kunjung bisa menjemput Susno, Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan Jaksa Agung Basrief Arief seharusnya bisa memerintahkan anak buahnya berkoordinasi dan menyelesaikan tugasnya.
Sebagai mantan penegak hukum dengan posisi terakhir Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Susno seharusnya tahu persis bahwa Mahkamah Agung adalah benteng terakhir keadilan. Ketika sebuah vonis yang berkekuatan hukum tetap tidak dilaksanakan, semua fondasi hukum kita terancam retak. Fiat justitia ruat caelum, hukum harus ditegakkan meski langit runtuh. Kalau Susno tak dijebloskan ke penjara sesuai dengan vonis Mahkamah Agung, langit kita memang benar-benar sudah runtuh.