Sekali lagi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyoroti fasilitas mewah para pejabat daerah. Masalah ini memang penting dipersoalkan. Tapi bukan sekadar perbincangan yang diperlukan, melainkan tindakan nyata untuk menyetopnya.
Persoalan itu selalu dibicarakan dari tahun ke tahun, tapi belum juga muncul kebijakan baru. Banyak daerah menghabiskan sebagian besar anggaran hanya untuk membayar gaji pegawai negeri dan memberikan fasilitas buat pejabat serta anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Tak sedikit pula kegiatan diciptakan-dari seminar hingga lawatan ke luar negeri-hanya untuk menghamburkan anggaran.
Di atas kertas, gaji resmi para pejabat tidak seberapa. Tapi mereka memperoleh pendapatan besar lewat tunjangan dan fasilitas yang berlimpah-ruah. Tengok saja, misalnya, fasilitas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang kini tengah disorot publik. Mendapatkan rumah dinas yang dibangun dengan anggaran Rp 16,4 miliar, ia malah memilih menyewa rumah Rp 250 juta.
Fasilitas seperti itu hanya akal-akalan. Apalagi yang disewa oleh Pemerintah Provinsi Banten adalah rumah Atut sendiri. Tak habis pikir, kenapa DPRD Banten menyetujui fasilitas janggal yang diberikan selama beberapa tahun itu? Jangan-jangan, para anggota Dewan juga mendapat fasilitas atau tunjangan yang berlebihan.
Itulah pentingnya pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat segera merevisi berbagai tunjangan dan fasilitas pejabat. Perlu aturan yang lebih lugas untuk membatasi pendapatan mereka. Aturan sekarang amat longgar karena antara kepala daerah dan DPRD masih bisa bersekongkol menaikkan penghasilan mereka setinggi-tingginya. Tidaklah wajar seorang bupati atau gubernur mendapat penghasilan hingga ratusan juta rupiah setiap bulan.
Penghamburan duit rakyat itu semakin sulit dihentikan karena praktek serupa terjadi pada pemerintah pusat. Kita tentu masih ingat betapa pemerintah berkeras membeli 150 unit mobil Toyota Crown Royal Saloon, setelah Susilo Bambang Yudhoyono kembali terpilih sebagai presiden pada 2009. Alasannya antara lain mobil seharga Rp 1,3 miliar per unit ini disediakan agar para pejabat bisa bekerja maksimal.
Dalih itu cuma omong kosong. Di negara yang berpendapatan per kapita jauh lebih tinggi dibanding negara kita, pejabatnya tidak mendapat gaji dan tunjangan berlebihan. Perilaku para penyelenggara republik ini semakin memuaskan karena mereka tetap melakukan korupsi kendati sudah mendapat penghasilan besar. Jarang ada pula pejabat yang berani membeberkan penghasilan mereka. Padahal masyarakat berhak mengetahuinya sesuai dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Bukan hanya pemerintah yang perlu mengoreksi praktek buruk itu, tapi juga para pemimpin partai politik yang mengendalikan republik ini. Jangan biarkan demokrasi hanya menghasilkan segelintir elite yang berfoya-foya menggunakan duit rakyat.