Penggerebekan pabrik sabu-sabu di Tangerang Selatan menunjukkan bahwa penegak hukum tak tinggal diam terhadap bisnis narkotik. Tapi anehnya, peredaran barang haram ini tak pernah surut kendati operasi pemberantasan sering dilakukan. Inilah yang perlu dievaluasi oleh pemerintah. Boleh jadi diperlukan perang total terhadap narkotik dan bukan sekadar penangkapan pelaku kejahatan ini.
Tanpa upaya sistematis menghancurkan bisnis narkotik, kejahatan ini akan tetap merajalela. Para pelaku tak pernah takut meramu dan mengedarkan narkotik. Pabrik pengolahannya bahkan berada di perumahan, seperti di Villa Melati Mas, Tangerang Selatan, yang digerebek polisi belum lama ini. Dalam penyergapan tersebut, polisi menemukan puluhan kilogram bahan pembuat sabu bernilai puluhan miliar rupiah.
Pabrik sabu yang telah beroperasi dua tahun itu yang hanya berjarak satu blok dari pabrik serupa diserbu polisi pada 2009. Ketika itu, petugas juga menemukan bahan dan alat produksi serta belasan butir pil ekstasi dan Happy Five seharga miliaran rupiah. Beberapa penangkapan terhadap para produsen sabu di Jakarta dalam tiga tahun terakhir juga kerap terjadi di lokasi yang berdekatan atau bahkan di kompleks apartemen yang sama.
Semua itu menunjukkan bahwa perang terhadap narkotik belum melibatkan masyarakat luas. Tak perlu sampai menjadikan setiap warga negara sebagai obyek pengawasan sepanjang waktu, seperti di rumah kaca. Tapi masyarakat dan jaringan pemerintah di level terbawah seharusnya dirangsang agar mampu mendeteksi kejahatan berbahaya tersebut.
Pemerintah juga mesti menciptakan sistem pengawasan terhadap penegak hukum, terutama kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Hal itu amat penting karena pemberantasan narkotik tidak akan berhasil bila para petugas terkontaminasi. Kongkalikong antara petugas dan pemain bisnis narkotik akan membuat kejahatan ini sulit diberantas.
Dalam banyak kasus narkotik, tak jarang disebutkan bahwa pelakunya adalah "pemain lama" atau residivis. Hal ini menunjukkan tak ada pemantauan terhadap para bekas penjahat narkotik. Mereka juga tak takut lagi terhadap proses hukum. Hukuman mati yang sudah dikenakan kepada sejumlah pelaku pun tak membuat nyali mereka ciut.
Publik punya kemampuan terbatas untuk mengetahui apakah pelaku yang ditangkap benar-benar dalang bisnis narkotik atau sekadar pemain kelas teri, bahkan hanya pengedar. Kita juga sulit memastikan apakah hukum tidak dipermainkan ketika mereka dibawa ke pengadilan. Apalagi, dalam banyak kasus, mafia narkotik memiliki kemampuan untuk menekan, bahkan mengintimidasi penegak hukum.
Kita juga belum melihat pemerintah benar-benar mengibarkan bendera perang terhadap narkotik. Hal ini bisa dilihat dari longgarnya pengawasan di pintu-pintu masuk narkotik, seperti bandara dan pelabuhan. Bahkan barang haram tersebut seolah dibiarkan beredar luas, dari penjara hingga tempat hiburan. Pemerintah semestinya serius menutup rapat-rapat pintu masuk narkotik beserta bahan bakunya, sekaligus mematikan pasar produk berbahaya itu.