Penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin, Tasikmalaya, Jawa Barat, sekali lagi menunjukkan betapa rentannya jaminan atas kebebasan beragama di negeri ini. Ahad dinihari lalu, puluhan rumah dan tempat pengajian dirusak di depan mata puluhan polisi. Meski tak sampai ada korban jiwa, penyerangan itu kembali membuktikan bahwa hak pengikut Ahmadiyah atas rasa aman dalam menjalankan keyakinan sama sekali tak terlindungi.
Sulit dipercaya bila penyerangan di Tenjowaringin dikatakan terjadi secara spontan, misalnya karena kemarahan warga sekitar yang terganggu akibat keramaian dari pengajian Ahmadiyah. Justru sebaliknya, kuat dugaan, penyerangan itu telah direncanakan. Faktanya, puluhan polisi berjaga-jaga sejak siang hari sebelum penyerangan. Penjagaan tak mungkin dilakukan bila tak ada tanda-tanda bakal ada penyerangan. Bisa jadi, polisi sudah menduga ada kelompok yang akan menggasak perkampungan Ahmadiyah itu. Sayangnya, menjelang malam, aparat yang berjaga malah berkurang.
Langkah polisi menjadikan dua pelaku penyerangan di Tenjowaringin sebagai tersangka sudah tepat. Tapi hal itu tentu saja belum cukup. Polisi perlu menyeret aktor utama atau penghasut kelompok penyerang yang berjumlah dua ratusan orang itu. Tak hanya individu penghasut yang perlu diseret ke pengadilan. Bila si penghasut terbukti merupakan pengurus organisasi tertentu, organisasi itu pun sepantasnya dituntut ke pengadilan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang belum mengatur sanksi bagi organisasi yang terlibat kejahatan. Tapi undang-undang lain yang telah mengaturnya bisa menjadi rujukan. Misalnya undang-undang pemberantasan korupsi, terorisme, dan pencucian uang. Sanksi bagi organisasi yang pengurusnya terlibat kejahatan bisa berupa denda, pembekuan, atau penyitaan aset. Hukuman sebaiknya diperberat bila organisasi yang sama terbukti berada di balik serangan berulang terhadap Ahmadiyah.
Selain melontarkan tuduhan sesat, kelompok penyerang Ahmadiyah kerap menuding pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu melanggar aturan. Ketika melakukan kekerasan, mereka sering merujuk pada Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yang membatasi kegiatan jemaah Ahmadiyah, serta Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama. Padahal penegakan aturan dan undang-undang merupakan tugas polisi. Kelompok penyerang tak punya lisensi apa pun untuk memaksakan aturan itu. Cara mereka "main hakim sendiri" justru merupakan kejahatan yang nyata.
Keputusan tiga menteri dan Undang-Undang Penodaan Agama itu pun bertentangan dengan konstitusi negara ini. Undang-Undang Dasar 1945, yang telah beberapa kali diamendemen, menjamin kebebasan beragama. Memeluk agama adalah hak asasi. Kebebasan beragama pun dilindungi hukum internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Jangan lupa, Indonesia sudah meratifikasi Deklarasi dan Kovenan, yang menggolongkan kebebasan beragama sebagai hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun.
Walhasil, di samping menindak tegas para penyerang Ahmadiyah, pemerintah sudah sepatutnya mencabut semua aturan usang yang kerap dijadikan tameng oleh mereka untuk melakukan aksi kekerasan.