Penyegelan lima mobil mewah di kantor pusat Partai Keadilan Sejahtera oleh Komisi Pemberantasan Korupsi mengindikasikan satu hal: betapa tipis batas antara harta haram dan halal tokoh partai. Kelima mobil berharga miliaran rupiah itu diduga merupakan hasil korupsi suap impor daging sapi. Meski tak satu pun mobil itu atas nama partai, posisi Luthfi Hasan Ishaaq yang ketika ditangkap adalah Presiden PKS membuat batas kepemilikan privat dan institusional sangat kabur. Kasus ini lagi-lagi menunjukkan bahwa aturan tentang transparansi anggaran sangat mendesak untuk segera ditegakkan oleh partai politik.
KPK tentu punya indikasi kuat keterkaitan kelima mobil mewah itu dengan pencucian uang yang diduga dilakukan Luthfi Hasan dan teman dekatnya, Ahmad Fathanah. Indikasi itu, misalnya, terlihat dari ketidakcocokan antara harga mobil dan profil kepemilikannya. Dari lima mobil, hanya satu yang diatasnamakan Luthfi, yaitu Mazda CX 9. Empat mobil mewah lainnya--Mitsubishi Pajero, Toyota Fortuner, Nissan Navara--disebar ke berbagai nama, seperti orang dekat atau teman. Bahkan satu mobil, VW Caravelle, yang berharga hampir Rp 1 miliar, diatasnamakan Ali Imran, sopir pribadi Luthfi.
Keanehan itu sudah cukup menjadi alasan bagi KPK untuk menelisik asal-usul pembelian mobil. Sayangnya, dua kali upaya penyitaan oleh KPK gagal. Tim penyidik dihalang-halangi ketika hendak membawa mobil keluar dari kantor DPP PKS. Semestinya, ketimbang repot menghalang-halangi eksekusi kelima mobil tersebut, PKS lebih baik membiarkan KPK bekerja. Penyitaan hanya proses hukum untuk membuktikan adakah keterkaitan mobil itu dengan pencucian uang. Jika tak terbukti, mobil toh kelak bisa dikembalikan.
Penolakan untuk menyerahkan mobil itu menunjukkan keengganan membuka asal-usul uang pembelian mobil yang nyatanya sebagian digunakan sebagai kendaraan operasional partai. Kecenderungan begini tidak mengherankan. Bukan hanya PKS, banyak partai tak mau membuka secara transparan anggarannya.
Transparency International Indonesia, misalnya, menemukan, dalam hasil survei atas sembilan partai politik yang digelar dari Juni 2012 hingga April 2013, tercatat empat partai sangat tidak transparan dalam soal keuangan. Selain PKS, mereka adalah Partai Demokrat, PPP, dan Golkar. Cuma tiga partai yang tergolong transparan, yakni Gerindra, PAN, dan PDI Perjuangan. Itu pun baru Gerindra dan PAN yang telah mempublikasikan informasi anggaran di situs partai masing-masing sebagaimana diwajibkan. Padahal Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan partai agar transparan ihwal keluar-masuknya uang. Kewajiban ini harus dipatuhi karena partai setiap tahun menerima dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bahkan, di luar dana APBN pun, partai harus terbuka bila menerima uang dari pihak ketiga. Sebagai lembaga publik, partai terikat untuk mempertanggungjawabkan keuangannya kepada konstituen.
Sayangnya, belum pernah ada tindakan tegas bagi partai yang tak melaporkan arus keluar-masuk kasnya. Jangankan laporan penerimaan dari pihak ketiga, laporan penggunaan uang APBN pun kerap diabaikan. Untuk partai-partai seperti ini, semestinya konstituennya bersikap kritis. Jangan pilih mereka jika tak mau terbuka soal keuangan. Bila dalam soal duit partai saja mereka sembunyi-sembunyi, bagaimana jika mereka berkuasa dan mengurus uang rakyat?