Buruknya kualitas calon legislator menandakan keadaan partai politik kita yang amburadul. Partai-partai mencalonkan lagi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dikenal bermasalah. Kalaupun muncul wajah baru, mereka berlatar belakang pengusaha, artis, atau kerabat tokoh partai. Para pemimpin partai tak hanya membodohi rakyat, tapi juga mengabaikan kaderisasi.
Sulit membayangkan ada proses kaderisasi yang wajar bila sekitar 80 persen anggota DPR dicalonkan kembali. Kader yang telah bekerja keras semakin tak dihargai karena partai suka pula merekrut pengusaha atau artis. Rekrutmen ini sering didasari pertimbangan dangkal. Artis dianggap bisa mendongkrak popularitas partai dan pengusaha diharapkan mampu mendatangkan banyak duit.
Para tokoh partai juga tak malu memasang keluarga atau kerabat dalam daftar calon legislator. Sebagian besar dari mereka dipasang di urutan pertama atau nomor jadi. Ini terjadi di banyak partai, seperti Partai Demokrat, Golkar, PDI Perjuangan, dan Partai Persatuan Pembangunan. Nepotisme bahkan merambah ke daerah. Banyak kerabat tokoh partai di suatu wilayah yang memborong posisi di legislatif maupun eksekutif.
Semua itu menggambarkan arogansi partai politik. Kalangan partai cenderung mendikte masyarakat, dan bukannya menyerap aspirasi mereka. Partai seolah memanfaatkan pemahaman dan pengetahuan politik masyarakat yang masih rendah. Rakyat umumnya gampang terkecoh oleh janji dan jargon partai serta tidak terlalu jeli melihat kualitas dan integritas calon legislator. Apalagi beberapa partai juga menguasai stasiun televisi yang sanggup menebarkan citra yang menguntungkan mereka.
Perilaku partai politik itu berpotensi menghancurkan demokrasi. Teramat cepat partai terjebak dalam praktek oligarki serta kolusi, korupsi, dan nepotisme-penyakit Orde Baru yang dikutuk pada awal Reformasi, 15 tahun lalu. Kekuasaan besar yang dinikmati partai politik merupakan berkah gelombang reformasi yang menjatuhkan rezim Orde Baru. Tapi kini kalangan partai mulai terjangkit penyakit yang sama.
Masalahnya, tidak mungkin partai politik mampu mengecoh rakyat dalam setiap pemilu atau selamanya. Hal ini perlu diperhitungkan oleh kalangan partai politik. Orang tak akan percaya lagi kepada janji memerangi korupsi bila realitasnya banyak kader partai terlibat kasus suap. Rakyat pun bakal ragu akan kemampuan partai politik mengelola negara jika mereka tidak bisa membiayai kegiatan politik dengan duit yang bersih.
Sehebat apa pun jargon atau slogan kampanye mereka, hal itu tidak akan memiliki daya tarik bila perilaku kalangan partai tak berubah. Tak hanya serampangan memasang calon legislator, banyak partai politik juga masih menyembunyikan sumber keuangannya. Inilah yang menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan mereka masih mengandalkan duit hasil korupsi untuk kegiatan politik.
Perilaku buruk itu sungguh berbahaya karena rakyat bisa tak percaya lagi kepada partai politik, bahkan demokrasi.