Apa pun penyebabnya, kecelakaan kerja yang terjadi di fasilitas bawah tanah PT Freeport Indonesia sungguh sangat disayangkan. Sampai hari kelima, masih ada 23 karyawan yang terjebak dalam reruntuhan fasilitas Big Gossan, yang berada pada kedalaman 800 meter tersebut. Celakanya, upaya penyelamatan ini tidak bisa berlangsung cepat karena harus dilakukan dengan secara manual. Penggunaan alat berat justru bisa memperparah keadaan fasilitas tersebut. Komunikasi dengan para korban pun terputus.
Situasi seperti itulah yang layak dipertanyakan. Bagaimana mungkin perusahaan tambang internasional sekelas Freeport tidak memiliki jalur evakuasi jika terjadi kecelakaan di fasilitas yang jauh berada di perut bumi. Tak terbayangkan pula sampai kapan operasi penyelamatan itu bakal selesai jika hal itu dilakukan tanpa peralatan berat. Padahal kecepatan merupakan kunci keberhasilan penyelamatan seperti itu. Kita sulit membayangkan bagaimana ke-23 orang yang sedang menjalani pelatihan tentang standard operational procedure di terowongan bawah tanah itu bisa bertahan.
Kecelakaan di pertambangan seperti ini bukanlah yang pertama di dunia. Kita masih ingat runtuhnya tambang emas di Cile pada 2010. Sebanyak 33 pekerja akhirnya bisa keluar dalam keadaan selamat setelah terkubur di bawah tanah selama 17 hari. Hal itu karena di dalam tambang tersedia air, makanan, dan oksigen yang cukup untuk keadaan darurat. Waktu itu Presiden Cile Sebastian Pinera harus mempersingkat lawatannya ke Kolombia dan tinggal di kemah dekat area tambang untuk memimpin operasi penyelamatan.
Kondisi sebaliknya terjadi di Cina. Kecelakaan tambang di Negeri Tirai Bambu itu telah memakan korban ribuan jiwa akibat minimnya pengamanan. Masyarakat tentu tidak menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bermalam di terowongan Gossan guna menunjukkan perhatian pemerintah terhadap nasib para pekerja tambang yang mengalami kecelakaan ini. Tapi kita juga tentu tidak ingin para pekerja tambang mengalami hal yang sama dengan di Cina, di mana kecelakaan tambang seperti dianggap hal biasa.
Kecelakaan Freeport tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah harus membentuk tim investigasi untuk melakukan pemeriksaan dengan melibatkan polisi dan pakar independen. Investigasi tersebut harus bisa membuktikan apakah cuaca buruk menjadi penyebab tunggal ataukah ada faktor kesalahan manusia dalam kecelakaan tersebut, termasuk konstruksi bangunan, persediaan peralatan dan bahan makanan dalam keadaan darurat, keberadaan jalur evakuasi, serta operasi penyelamatan jika terjadi kecelakaan. Penyelidikan juga harus ditujukan kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai pengawas keselamatan kerja.
Sayangnya, pemerintah terkesan tak terlalu serius menangani persoalan keselamatan kerja ini. Meskipun aturan soal ini tergolong banyak, rata-rata sanksi terhadap para pelanggarnya sangat ringan. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menetapkan, para pelanggar hanya dikenai hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan denda paling banyak Rp 100 ribu. UU No. 23/1992 tentang Kesehatan lebih lumayan: hukuman kurungan paling lama 1 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 15 juta, sedangkan UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja mencantumkan hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan dan denda setinggi-tingginya Rp 50 juta.
Pemberian santunan kepada korban luka maupun meninggal, dan perawatan bagi korban luka, jelas tak akan membebani Freeport. Tapi itu saja tidaklah cukup. Sanksi berat harus diberikan kepada Freeport agar kejadian serupa tak terulang, baik oleh perusahaan Amerika itu sendiri maupun perusahaan lain.