Mundurnya beberapa rumah sakit swasta dari kerja sama program Kartu Jakarta Sehat (KJS) seharusnya membuat pemerintah DKI Jakarta berpikir ulang untuk mengevaluasi program itu. Ini pelajaran penting bagi Gubernur DKI Joko Widodo: niat baik saja tidak cukup. Butuh persiapan matang dan perhitungan yang cermat agar pengobatan gratis untuk rakyat miskin itu bisa terlaksana.
Jokowi tak perlu menyalahkan rumah sakit yang mundur, apalagi langsung menuduh mereka cuma mencari untung besar. Semestinya, Jokowi melihat dulu fakta yang ada. Mundurnya 16 rumah sakit swasta pada pekan lalu itu pertanda ada yang tak beres dalam program pengobatan gratis tersebut. Jokowi harus mau mendengarkan masukan, jangan asal bikin program untuk mendongkrak popularitasnya.
Bila diteliti, 16 rumah sakit itu mundur lantaran berkeberatan dengan pembayaran klaim yang tidak 100 persen. Tagihan rumah sakit kepada pemerintah ditangani oleh PT Askes berdasarkan sistem Indonesia Case-Based Group (Ina-CBG). Cara ini membuat pembayaran klaim lebih cepat ketimbang pada masa Gubernur Jakarta sebelumnya, Fauzi Bowo-tidak lebih dari 12 hari. Masalahnya, rata-rata pembayaran yang diterima rumah sakit hanya 70 persen dari total klaim.
Sebelumnya, pembayaran dilakukan dengan mekanisme Paket Pelayanan Esensial (PPE) di bawah koordinasi Dinas Kesehatan. Dengan cara ini, mereka mendapat pembayaran 100 persen, namun membutuhkan waktu 2 hingga 3 bulan. Kalaupun ada selisih dengan klaim, paling besar hanya 15 persen. Sekarang yang terjadi bisa mencapai 30 persen.
Yang menjerit dengan sistem baru itu bukan hanya rumah sakit swasta. Rumah sakit pelat merah, seperti Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng, juga megap-megap. Biaya pengobatan KJS sebesar Rp 16 miliar hanya dibayar Rp 11,2 miliar. Rumah sakit itu terpaksa menombok Rp 4,8 miliar. Jadi, menuduh rumah sakit sekadar mencari untung besar juga kurang tepat. Buktinya, rumah sakit negeri yang penuh subsidi pun merugi.
Kalau hendak ditelisik lebih jauh, salah satu penyebabnya adalah perhitungan sistem Ina-CBG yang dibikin oleh Kementerian Kesehatan pada 2009. Harga pada 2009 jelas berbeda dengan harga sekarang. Sistem inilah yang mesti dievaluasi bersama. Pemerintah harus duduk bersama dengan para pemangku kepentingan-seperti asosiasi rumah sakit dan dokter-merumuskan kebijakan harga yang wajar. Tidak membikin rugi rumah sakit, tapi juga punya fungsi sosial membantu kaum duafa. Suara rumah sakit yang menyatakan merugi juga jangan diterima mentah-mentah. Semuanya harus diuji kembali kesahihannya.
Selama ini program Kartu Jakarta Sehat yang dijanjikan Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, saat mencalonkan diri cenderung salah kaprah. Orang kaya atau miskin boleh menikmati layanan itu secara gratis asalkan mau dirawat di ruang kelas tiga. Akibatnya, jumlah pasien yang berobat ke rumah sakit meningkat 70 hingga 80 persen. Jumlah pengguna KJS mencapai 4,7 juta orang atawa setara dengan separuh jumlah warga Jakarta. Belakangan, Jokowi-Basuki baru sadar. Anggaran jebol. Tenaga kerja dan infrastruktur rumah sakit pun kewalahan melayani lonjakan jumlah pasien gratisan itu.
Niat pemerintah Jakarta mengoreksi kembali kebijakannya patut didukung. Mereka akan membatasi layanan ini hanya untuk orang miskin. Selain mengevaluasi sistem Ina-CGB dalam pembayaran tagihan klaim, yang penting adalah mengoptimalkan layanan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan sekaligus "menyaring" pasien mana yang perlu dikirim ke rumah sakit dan man yang tidak. Sebagian pasien KJS yang datang ke rumah sakit saat ini sebenarnya bisa ditangani puskesmas. Belum terlambat bagi Jokowi-Basuki untuk memperbaiki sistem dan prasarana program unggulannya ini.