Interpelasi sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta terhadap Gubernur DKI Jakarta terlalu prematur. Gerakan mempersoalkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang dimotori anggota Fraksi Demokrat ini sepertinya tidak bertujuan membela kepentingan orang banyak, melainkan kepentingan sejumlah partai. Indikasi ini mengemuka karena sejumlah alasan.
Pertama, pengajuan hak interpelasi ini terkesan terburu-buru. Belum lagi, sepekan lebih sejak protes sejumlah rumah sakit mengenai program KJS menjadi pemberitaan media massa, para politikus ini sudah bergerak. Padahal, setelah kabar soal mundurnya 16 rumah sakit dari program KJS merebak, Dinas Kesehatan DKI Jakarta sudah berinisiatif melakukan dialog dan menawarkan evaluasi bersama. Pemerintah daerah bersama mitranya sedang mencari solusi yang tepat.
Indikasi kedua menyangkut substansi interpelasi itu sendiri. Para pengusung hak interpelasi menyebut program Kartu Jakarta Sehat tak lebih dari pencitraan politik Jokowi. Ketika berkampanye menuju kursi DKI-1, bekas Wali Kota Surakarta ini memang sempat menjanjikan pelayanan kesehatan cuma-cuma buat warga miskin Jakarta. Jokowi diketahui sudah menerapkan hal yang sama di Surakarta.
Anggapan semacam itu tidak sepenuhnya benar. Program KJS kini tak lagi murni milik Jokowi-Ahok. Konsepnya sudah bergeser menjadi proyek percontohan untuk penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada awal 2014. Sebagai proyek percontohan yang dikoordinasikan oleh PT Askes dan Kementerian Kesehatan, tanggung jawab utama atas program KJS tidak lagi hanya ada di pundak Jokowi. Kelak, program KJS akan diterapkan secara nasional.
Dua faktor itulah yang membuat interpelasi KJS menjadi kurang elok. Ibarat obat, dia ditawarkan pada saat pasien masih bugar. Hal ini patut disayangkan. Menggunakan hak interpelasi dan memaksa Jokowi menjawab sejumlah pertanyaan seputar KJS di hadapan sidang paripurna DPRD Jakarta hanya akan jadi pertunjukan politik yang tidak substansial. Rakyat sama sekali tak mendapat manfaat.
Yang lebih dibutuhkan saat ini adalah solusi yang bisa segera diterapkan di lapangan. Tak dapat dimungkiri bahwa program KJS belum sempurna dan perlu terus diperbaiki. Kementerian Kesehatan dan Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia sedang merumuskan formula penghitungan biaya pelayanan medis yang lebih cocok dengan kondisi riil di setiap rumah sakit.
Formula yang dipakai sekarang-dikenal dengan nama Indonesia Case-Based Group (Ina-CBG)-memang dibuat empat tahun yang lalu untuk diberlakukan di seluruh Indonesia. Sangat mungkin terjadi bahwa formula itu tidak cocok untuk sejumlah daerah, termasuk Jakarta, dan karenanya perlu segera diperbarui. Pada saat bersamaan, Ikatan Dokter Indonesia sedang mencari cara agar beban kerja para dokter di Jakarta tak sampai mengurangi kualitas diagnosis mereka.
Program KJS merupakan salah satu terobosan besar untuk sektor pelayanan medis di negeri ini. Misinya adalah memastikan seluruh warga Ibu Kota memiliki akses ke pelayanan kesehatan yang memadai. Jatuh-bangun KJS akan jadi masukan berharga untuk implementasi SJSN kelak. Dalam situasi semacam ini, para politikus Kebon Sirih harus memilih: mau jadi bagian dari masalah atau jadi bagian dari solusi. Kelak, dalam pemilihan umum, publik yang akan menilai apakah mereka memilih dengan benar atau tidak.