Pelemahan nilai tukar rupiah dalam sepekan terakhir mengkhawatirkan. Nilai tukar rupiah kemarin ditutup hampir menyentuh 9.900 per dolar Amerika Serikat. Berdasarkan catatan Mandiri Sekuritas, rupiah melemah 2,6 persen dibanding posisi setahun yang lalu. Ini terendah sejak Oktober 2008, ketika rupiah terpengaruh krisis negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat.
Indonesia, bersama Cina dan India, sebetulnya merupakan sedikit di antara beberapa negara yang mampu bertahan di tengah krisis itu. Pasca-krisis, pertumbuhan ekonomi kita terus berada pada kisaran 6 persen. Nilai tukar rupiah pernah menguat hingga 8.250 per dolar AS. Namun, saat ini, faktor eksternal dan internal tampaknya tidak bersahabat dengan Indonesia justru ketika perekonomian dunia sudah mulai membaik.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama hanya 6 persen, masih di bawah proyeksi pemerintah, 6,2-6,3 persen. Neraca perdagangan Indonesia juga defisit selama triwulan pertama ini. Keadaan ini adalah yang pertama setelah bertahun-tahun--paling tidak sejak 2007 ketika krisis mondial mulai terjadi--Indonesia selalu mencatat surplus perdagangan pada triwulan pertama. Nilai tukar rupiah pun terpuruk cukup dalam, dan kondisi ini sangat mengkhawatirkan.
Tekanan terhadap rupiah datang bertubi-tubi. Dolar belakangan cenderung menguat terhadap seluruh mata uang karena perbaikan ekonomi. Di dalam negeri, tekanan pembelian dolar juga meningkat. Kebutuhan korporasi akan dolar untuk membayar utang merupakan sesuatu yang bersifat rutin sehingga tak perlu dipersoalkan. Namun peningkatan impor minyak dan bahan bakar minyak layak dipersoalkan.
Pada 2005 impor BBM (Premium) hanya 6,2 juta kiloliter, dan lima tahun kemudian bertambah dua kali lipat menjadi 12,44 juta kiloliter. Dalam kurun yang sama, proporsi Premium impor terhadap total kebutuhan Premium juga berbalik secara dramatis, dari 35 persen menjadi 50,1 persen. Neraca minyak dan hasil minyak kita juga sangat mengerikan. Pada 2009, neraca minyak dan hasil minyak kita defisit US$ 6 miliar. Pada tahun lalu, angkanya sudah hampir empat kali lipat menjadi US$ 23 miliar.
Situasi ini tentu saja tak bisa dibiarkan. Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan ekspor nonmigas yang cenderung stagnan. Yang semestinya dikendalikan adalah impor, terutama migas dan BBM, yang terus meningkat. Impor BBM tak hanya membahayakan anggaran negara karena membuat subsidi membengkak, tapi juga rupiah. Pembelian dolar jelas mendorong pelemahan rupiah. Artinya, pengendalian konsumsi BBM akan memberikan dua manfaat sekaligus. Anggaran lebih bisa dikendalikan, dan ancaman terhadap rupiah juga berkurang.
Salah satu metode pengendalian konsumsi BBM yang seharusnya cespleng adalah menaikkan harga minyak. Sayangnya, keputusan soal ini berbelit-belit. Tanpa kenaikan harga, setiap hari tambahan subsidi mencapai Rp 500 miliar. Mengacu pada angka 2012, impor BBM setiap hari mencapai US$ 78 juta. Angka-angka itu bisa lebih kecil jika pemerintah dan DPR segera membuat keputusan soal harga BBM bersubsidi. Tentu saja ada metode lain, tapi problem impor BBM merupakan salah satu yang paling berat.