Kesaksian Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan seharusnya menjadi amunisi baru bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk bergerak kembali. Jangan berhenti mengusut kasus korupsi pengadaan simulator kemudi di kepolisian. Pengakuan Teddy, ketua panitia lelang simulator kemudi, itu begitu telak.
Khalayak sempat kecewa terhadap KPK lantaran komisi ini terkesan membekukan kasus itu dan berhenti di mantan Komandan Korps Lalu Lintas Polri Djoko Susilo. Padahal, aliran duit suap itu sudah terang-benderang. Berulang kali Teddy menyebut lima anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR kecipratan duit simulator kemudi. Mereka, kata Teddy, adalah Muhammad Nazaruddin (Partai Demokrat), Aziz Syamsuddin dan Bambang Soesatyo (Partai Golkar), Herman Hery (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), serta Desmond Junaidi Mahesa (Partai Gerindra). Pernyataan itu diungkapkan Teddy dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa pekan lalu.
Teddy mengatakan, uang suap itu berjumlah Rp 4 miliar, dia ambil dari Primer Koperasi Polri. Dibungkus dalam empat kardus, uang itu dia serahkan kepada Nazaruddin sebagai koordinator Banggar kala itu. Uang tersebut merupakan jatah untuk Nazaruddin dan teman-temannya karena telah meloloskan proyek pengadaan simulator kemudi tahun anggaran 2010 senilai Rp 196,8 miliar.
KPK semestinya tak perlu gentar terhadap bantahan para politikus Senayan itu. Mereka semua sudah diperiksa KPK dan ramai-ramai mengelak. Dalih mereka, proyek simulator kemudi tidak dibahas di Senayan. Alasannya, proyek ini dibiayai dari pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Mereka menyebutkan penggunaan pos ini tak memerlukan persetujuan DPR. "Sesuai dengan mekanisme," kata Bambang Soesatyo, "ketentuan itu melalui persetujuan Kementerian Keuangan."
Tentu saja argumen itu mengada-ada. Bohong besar proyek simulator kemudi tak dibahas di Dewan. Direktur Jenderal Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian Keuangan Askolani menjelaskan bahwa persetujuan Dewan tetap dibutuhkan untuk penggunaan dana yang dikumpulkan antara lain dari pengurusan surat tanda nomor kendaraan, pelat nomor, dan surat izin mengemudi itu. Sebab, pemakaian pos ini tetap melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Masih banyak bukti lain yang bisa digali komisi antirasuah. Kesaksian Teddy, misalnya, menyebutkan duit itu juga diterima lewat ajudan politikus Partai Golkar, Aziz Syamsuddin, di area parkir sebuah mal di Senayan. Kesaksian si ajudan bisa ditelusuri untuk melihat ke mana duit itu mengalir. Apalagi salah satu penerima uang, M. Nazaruddin, juga telah mengakui hal tersebut.
Jadi, tak ada alasan bagi KPK untuk tutup mata. Jika Komisi tak serius mengungkap kasus ini, dikhawatirkan hal itu akan menguatkan kecurigaan sebagian khalayak bahwa KPK melakukan tebang pilih. Mereka menuduh: untuk kasus yang melibatkan politikus Partai Keadilan Sejahtera, KPK begitu sigap, bahkan menjerat dengan "bom" ampuh, pasal tindak pidana pencucian uang. Kini, giliran sebuah kasus menyeret politikus dari partai lain, KPK seolah melempem. KPK harus membuktikan bahwa tudingan itu salah besar.