Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso sepertinya tak memahami arti konflik kepentingan. Kedatangannya ke penjara khusus korupsi Sukamiskin, Bandung, mengunjungi terpidana korupsi, Fahd El Fouz, memunculkan banyak kecurigaan. Politikus Partai Golkar itu mengunjungi Fahd pada Sabtu lalu, hanya dua hari setelah sidang pengadilan kasus korupsi pengadaan Al-Quran dengan terdakwa anggota DPR, Zulkarnaen Djabar, yang menyebut-nyebut nama Priyo.
Dalam sidang vonis itu, hakim membacakan transkrip pembicaraan antara Fahd dan Zulkarnaen yang diperoleh dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam pembicaraan tersebut, Fahd mengatakan bahwa Priyo menerima fee dari proyek Al-Quran pada 2011 sebesar 1 persen. Priyo juga disebut menerima fee sebesar 3,5 persen dari proyek Al-Quran senilai Rp 22 miliar dan 1 persen dari proyek laboratorium komputer senilai Rp 31,2 miliar. Rincian itu juga tertulis dalam catatan Fahd. Proyek-proyek tersebut berada di bawah Kementerian Agama.
Alasan Priyo soal kunjungan itu juga berubah-ubah. Pada mulanya, ia mengatakan bahwa kehadirannya di Sukamiskin merupakan kunjungan resmi sebagai Wakil Ketua DPR yang membidangi masalah hukum. Namun Wakil Ketua DPR Pramono Anung memastikan bahwa kunjungan itu tak pernah dibahas dalam rapat internal pimpinan DPR. Priyo kemudian membantah keterangannya sendiri. Kunjungan itu, katanya, dilakukan karena kebetulan dia berada di Bandung.
Terlepas dari alasan tersebut, kehadiran Priyo jelas tidak patut, baik secara moral hukum maupun moral politik. Secara hukum, Priyo jelas terkait dengan kasus yang disebutkan oleh Fahd, meskipun Fahd kemudian membantah keterangannya. Namun rekaman dan catatan Fahd toh sudah menjadi fakta persidangan yang bisa ditindaklanjuti lembaga penegak hukum. Priyo juga bisa dituding menyalahgunakan posisinya sebagai pimpinan DPR untuk menyelesaikan kasus hukum yang boleh jadi bisa menjeratnya kelak.
Kunjungan Priyo juga memberikan pesan negatif dalam upaya penegakan hukum di negeri yang karut-marut ini. Bahkan kunjungan itu berpotensi mengganggu proses penegakan hukum. Sebagai bagian dari pimpinan DPR, Priyo semestinya berada di garis terdepan dalam menjunjung tinggi supremasi hukum di atas kepentingan apa pun. Apalagi kunjungan itu dilakukan bukan pada saat jam besuk. Hal ini seperti memperkuat anggapan bahwa pejabat bisa melakukan apa saja, meskipun itu menabrak aturan.
Apa pun alasan Priyo, seharusnya Badan Kehormatan DPR memanggilnya. Ia sudah melewati batas. Tidak ada yang melarang Priyo mengunjungi Fahd. Keduanya sudah lama berteman. Mereka juga sama-sama pengurus Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), organisasi massa sayap Golkar. Priyo adalah Ketua MKGR, sedangkan Fadh menjadi Ketua Generasi Muda MKGR. Namun Priyo semestinya mempertimbangkan posisi Fahd sebagai salah satu saksi kunci kasus korupsi pengadaan Al-Quran dan proyek laboratorium komputer, dan namanya disebut dalam kasus itu sebelum berkunjung ke Sukamiskin.
Komisi Pemberantasan Korupsi seyogianya juga segera memeriksa Priyo agar kasus korupsi ini bisa dituntaskan. Selain itu, pemeriksaan Priyo bisa menjadi jalan bagi pemeriksaan anggota DPR lain yang disebut dalam persidangan tapi kasusnya belum ditindaklanjuti. Nama-nama itu antara lain Anis Matta dan Tamsil Linrung, dalam kasus korupsi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah dengan terpidana Wa Ode Nurhayati; serta Sutan Bhatoegana dalam kasus korupsi pengadaan panel tenaga surya dengan terpidana Ridwan Sanjaya. ***