Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo patut gusar melihat Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair meleset dari tujuannya semula. Kegiatan tahunan yang digelar PT Jakarta International Expo (JIExpo) sejak 2005 itu memang lebih tampak sebagai ajang promosi produk perusahaan besar. Pengunjung tidak lagi mencari kerak telor atau menonton panggung Lenong yang sebelumnya jadi ikon PRJ, melainkan mencari barang obralan dan diskon.
Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pun geram. Ia menilai penyelenggara PRJ bertahun-tahun untung, tapi pemerintah Jakarta, pemilik 13 persen saham di JIExpo, tak pernah mendapat dividen. Boro-boro dividen, pemerintah Jakarta malah harus membayar sewa keikutsertaannya dalam acara itu, yang tahun ini dianggarkan Rp 4 miliar.
PRJ digelar pertama kali pada 1968 di kawasan Monas. Pekan raya ini merupakan kelanjutan dari Pasar Malam Gambir yang dahulu, pada zaman pemerintah Belanda, digelar untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina. PRJ kemudian dibuat sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Jakarta. Agar banyak orang datang, digelar acara hiburan. Pedagang kecil pun diberi kesempatan menawarkan jualannya.
Banyaknya pedagang kecil inilah ciri PRJ. Ia menjadi pasar malam yang menarik pengunjung. Aneka barang dijajakan, dari pakaian, jamu, mainan anak, hingga rotan pemukul kasur. Di berbagai sudut, seni tradisional dan makanan khas Betawi diberi tempat strategis agar mudah memancing pengunjung. Ketika PRJ dipindahkan ke Kemayoran pada 1992, ciri khas itu hilang. Pedagang besar dan industri lebih dominan. Mereka lebih mampu membayar sewa stan yang mahal. Sebagai perusahaan swasta, PT JIExpo tentu saja memilih mereka. PRJ pun berganti menjadi tak ubahnya pameran dagang seperti jamak digelar di Jakarta Convention Center atau mal-mal besar.
PRJ adalah milik Jakarta. Sudah sepatutnya ia dikembalikan ke pangkuan pemerintah Jakarta. Pemerintah juga perlu mengembalikan ke tujuannya semula sebagai ajang promosi produk unggulan kota ini. Meski demikian, rencana Gubernur untuk memisahkan PRJ dari agenda kegiatan di Kemayoran perlu dipertimbangkan masak-masak.
Ada beberapa alasan soal ini. Pertama, peraturan penyelenggaraannya harus dibenahi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha sudah memperingatkan adanya dugaan monopoli dalam perhelatan PRJ karena hanya PT JIExpo yang menjadi penyelenggara. Monopoli terjadi karena Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 1991 menetapkan perusahaan itu sebagai penyelenggara PRJ tanpa perlu tender. Aturan itu juga mematok PRJ hanya digelar di Kemayoran. Bila PRJ hendak digeser ke Monas, peraturan itu harus diubah.
Kedua, mesti dirumuskan seperti apa "PRJ baru" nanti. Apakah menjadi pasar malam dengan acara-acara budaya, pameran promosi dan dagang, ataukah gabungan dari keduanya?
Ketiga, harus dihitung benar perlukah memindahkan kegiatan ke kawasan Monas. PRJ di Kemayoran pada 2012 saja dikunjungi 4,5 juta orang. Mampukah Monas menampung orang sebanyak itu? Cukupkah area parkir? Tidakkah akan muncul kemacetan luar biasa? Sebetulnya, mengembalikan makna PRJ tak harus dengan memindahkan tempatnya. Esensi terpenting adalah acara itu bisa menjadi ajang pameran budaya sekaligus pameran dagang.