Betapa memalukan perilaku Zakaria Umar Hadi saat menumpang pesawat Sriwijaya Air belum lama ini. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi Bangka-Belitung ini marah dan memukul pramugari yang menegurnya soal pemakaian telepon seluler di pesawat. Tak cukup dijebloskan ke penjara, Zakaria selayaknya dipecat.
Sebagai pejabat, semestinya Zakaria menjadi panutan masyarakat, setidaknya contoh bagi para penumpang lain di pesawat yang terbang dari Jakarta menuju Pangkalpinang itu. Tapi ia justru memperlihatkan sikap arogan ketika ditegur oleh pramugari karena masih menghidupkan ponsel saat hendak lepas landas. Setelah pesawat mendarat, Zakaria kemudian memukul pramugari tersebut.
Si pejabat seharusnya paham tentang bahaya pemakaian ponsel di dalam pesawat, terutama saat hendak lepas landas atau mendarat. Gelombang ponsel berpotensi mengganggu komunikasi pilot dengan petugas menara kontrol. Itu sebabnya, mematikan telepon ketika berada di pesawat termasuk dalam standar internasional keselamatan penerbangan.
Masalah itu secara teknis juga tak sulit dicerna. Peranti elektronik umumnya menggunakan frekuensi 100 megahertz sampai 2,7 gigahertz. Hal ini mudah berimpitan dengan frekuensi alat komunikasi dan navigasi pesawat yang berkisar pada 118-137 megahertz. Sejumlah maskapai penerbangan internasional memang sudah memakai peranti khusus yang memungkinkan penumpang bisa memakai ponsel tanpa mengganggu penerbangan. Tapi, di Indonesia, belum ada perusahaan yang menggunakannya.
Tak sedikit kecelakaan pesawat yang dipicu oleh penggunaan ponsel. Salah satu contohnya adalah petaka pesawat Crossair di Zurich, Swiss, pada 2000. Musibah ini diduga terjadi karena sinyal telepon mengganggu sistem kemudi. Juga pernah diberitakan, sebuah pesawat yang siap-siap mendarat di Bandar Udara Heathrow, London, pada 1998, tiba-tiba harus naik lagi karena sistem navigasi terganggu peralatan elektronik penumpang yang belum dimatikan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan melarang sama sekali penggunaan telepon di pesawat. Larangan ini diatur dalam Pasal 54 ayat f dan Pasal 306. Ancaman hukuman terhadap pelanggar aturan tersebut mencapai 5 tahun penjara. Itu sebabnya, sikap tegas pramugari yang menegur Zakaria patut dipuji.
Langkah kepolisian yang langsung menahan Zakaria begitu mendapat laporan juga pantas dihargai. Tapi proses hukum masih perlu dicermati karena sejauh ini polisi baru menggunakan delik penganiayaan untuk menjerat si pejabat. Padahal tersangka juga bisa dijaring dengan UU Penerbangan bila bisa dibuktikan bahwa ia masih menyalakan ponsel saat ditegur pramugari untuk kedua kali.
Gubernur Bangka-Belitung pun mesti bertindak tegas terhadap Zakaria. Tanpa harus menunggu berakhirnya proses hukum, ia sudah pantas dipecat. Berupaya melawan aturan dan berbuat sewenang-wenang, Zakaria jelas tak layak lagi menjadi pamong praja.