Buruknya mutu calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan kembali disorot. Dari 22 nama kandidat hasil seleksi Dewan Perwakilan Rakyat, tak satu pun figur yang menonjol dari segi kualitas maupun integritasnya. Ini semakin menunjukkan pentingnya mengubah mekanisme seleksi anggota BPK.
Dari sederet calon yang segera menjalani uji kelayakan di DPR itu, tak ada calon yang bisa diharapkan mampu mendongkrak kredibilitas BPK. Mereka tidak memiliki rekam jejak yang baik dalam mengelola atau mengawasi keuangan negara, apalagi memerangi korupsi. Kualitasnya amat jauh dari Taufiequrachman Ruki, anggota BPK yang hendak digantikan karena pensiun.
Ada calon yang pernah dinyatakan bersalah dalam kasus kredit Bank Century, kendati putusan ini kemudian direvisi oleh Mahkamah Agung. Ada juga kandidat yang disorot karena salah satu anggota keluarganya disebut terlibat dalam kasus Hambalang. Nama keduanya tetap dimasukkan ke daftar calon walau publik sudah lama mempersoalkan hal itu. Lucunya lagi, muncul pula kandidat yang dulu pernah gagal mengikuti seleksi.
Masalah seperti itu sudah mencuat ketika politikus Senayan menyeleksi calon anggota BPK periode 2009-2014. Setahun lagi, saat memilih anggota BPK periode 2014-2019, persoalan sama tentu berulang. Itu karena akar masalahnya belum diatasi, yakni terlalu dominannya peran DPR dalam menyeleksi anggota BPK. DPR memonopoli fungsi ini dari penjaringan calon hingga uji kelayakan.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK memang menyebutkan peran Dewan Pertimbangan Daerah dalam proses seleksi, tapi wewenangnya amat terbatas. Ketentuan bahwa DPR harus meminta masukan dari masyarakat juga hanya formalitas, karena nyatanya kritik publik tak pernah didengar. Peran DPR semakin sentral karena lembaga ini juga berwenang mengusulkan pemberhentian anggota BPK.
Sulit memoles kredibilitas BPK tanpa memperbaiki proses seleksi anggotanya. Sebagai lembaga tinggi, BPK akan tetap tumpul dan tak berani mengusik borok keuangan kementerian yang dikuasai oleh partai politik, apalagi membeberkan kasus dugaan korupsi yang melibatkan anggota DPR. Calon-calon yang disodorkan oleh politikus Senayan, terutama yang diproyeksikan sebagai kandidat kuat, umumnya amat dekat dengan kalangan partai politik.
Itu sebabnya, para pegiat antikorupsi mengusulkan agar proses seleksi awal anggota BPK dilakukan oleh tim independen. Cara ini diterapkan dalam memilih pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Otoritas Jasa Keuangan. Hasilnya terbukti jauh lebih baik. Kendati seleksi akhir di tangan DPR, mereka dipilih dari para calon yang sudah melewati saringan tim independen.
Perubahan mekanisme seleksi hanya mungkin dilakukan dengan merevisi Undang-Undang BPK. Ini berarti kuncinya tetap di tangan DPR. Kalau partai politik tetap ingin memonopoli kekuasaan dari hulu hingga hilir, termasuk mendominasi pemilihan anggota BPK, perubahan tak akan terjadi. Tapi partai politik semestinya juga konsisten dan berani bertanggung jawab atas amburadulnya pengawasan keuangan negara, yang membuat korupsi terus merajalela.