Keputusan Komisi Pemilihan Umum mencoret daftar calon legislator empat partai politik di sejumlah daerah sudah tepat. Itulah hukuman yang pantas bagi partai yang tidak serius memenuhi syarat 30 persen perempuan dalam daftar bakal calon legislator.
Kegagalan tersebut terasa aneh. Partai-partai itulah yang mengetok lahirnya kewajiban memenuhi kuota perempuan dalam daftar calon legislator lewat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Tapi mereka pula yang melakukan rekrutmen secara sembarangan sehingga calon-calon perempuan yang mereka pasang gagal memenuhi syarat administratif. Sesuai dengan Peraturan KPU, tak terisinya kuota ini berbuntut dicoretnya partai dari daerah pemilihan terkait.
Keempat partai yang sembrono itu adalah Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Gerakan Indonesia Raya, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. PPP dicoret di dua daerah pemilihan, yaitu Jawa Tengah III dan Jawa Barat II. PAN tersingkir dari daerah pemilihan Sumatera Barat I. Caleg PKPI harus mundur di Jawa Barat V, Jawa Barat VI, dan Nusa Tenggara Timur I. Adapun Partai Gerindra mesti mendapati calegnya di Jawa Barat IX batal ikut Pemilu 2014.
Tujuan awal membuat aturan ini sejatinya mulia. Aturan baru ini diharapkan mendongkrak keterwakilan perempuan dalam badan legislatif. Sayangnya, dalam pemilu-pemilu yang lalu, angka keterwakilan perempuan sangat rendah. Hasil pemilu legislatif 2009 menunjukkan jumlah perempuan di Senayan hanya sekitar 18 persen atau 44 orang saja. Dengan aturan baru ini, jika kuota minimal 30 persen itu terpenuhi, kelak jumlah politikus perempuan di Senayan menjadi 168 orang.
Kesalahan Indonesia saat merintis aturan ini pada 2009 adalah tiadanya sanksi bagi partai politik yang belum mampu memenuhinya. Kini saatnya langkah tegas diterapkan bagi pelanggaran itu. Tujuan akhir aturan ini layak diselamatkan.
Kegagalan partai memenuhi kuota itu menunjukkan mereka tidak serius menyiapkan kader perempuan. Terbukti, dalam verifikasi awal Mei lalu, hampir semua parpol belum memenuhi kuota 30 persen calon perempuan tersebut. Pada saat-saat akhir, barulah ketentuan itu bisa ditaati.
Kaderisasi semestinya menjadi bagian integral dari program partai yang dijalankan secara serius. Jika hal ini berjalan lancar, niscaya perekrutan calon legislator -termasuk calon perempuan--juga tak akan sulit. Pada saatnya, konsolidasi secara terus-menerus ini membuat para calon mafhum apa yang harus dilakukan sehingga mereka tak perlu tersandung hal-hal sepele. Patut diduga, perekrutan calon legislator selama ini berlangsung instan dan cenderung asal-asalan. Tak mengherankan bila akhirnya banyak calon gagal memenuhi persyaratan administratif.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menyediakan 30 persen kursi pengurus partai, dari pusat hingga ke anak ranting, bagi kader perempuan. Dari cara inilah diharapkan didapat calon legislator perempuan yang matang secara politik, juga memiliki kapabilitas.
Partai-partai yang gagal seharusnya tidak marah atas sanksi yang dijatuhkan. Mereka boleh saja mengadu ke Badan Pengawas Pemilu, namun seharusnya mereka melakukan introspeksi. Kegagalan menyediakan calon perempuan itu merupakan bukti bahwa mereka setengah hati mendorong kehadiran perempuan dalam politik. Pemberdayaan perempuan seharusnya menjadi agenda politik jangka panjang bagi partai, bukan sekadar asal comot seperti sekarang ini.