Amat menyedihkan bila para pejabat benar-benar masih harus belajar bagaimana harus bersikap saat menghadapi bencana asap seperti sekarang ini. Petaka asap merupakan bencana rutin, terjadi setiap tahun. Namun, saban kemarau tiba, mereka masih bingung mengatasi kabut asap.
Orang yang berpikiran sehat akan geleng-geleng kepala melihat minimnya tindakan yang diambil pemerintah. Apalagi saat melihat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono kebakaran jenggot dan marah kepada Singapura lantaran mereka mengeluhkan dampak asap, dan menyebut "tindakan negeri jiran itu kekanak-kanakan". Sikap Agung itu sama sekali tidak bermanfaat, malah menunjukkan betapa buruknya kebijakan pemerintah menghadapi kabut asap.
Bencana asap kali ini terbilang parah. Hasil pengukuran menggunakan Indeks Standar Pencemaran Udara milik PT Chevron di Dumai, kualitas udara mencapai 400 PSI atau tergolong sangat berbahaya. Di Malaysia, indeks polusi asap juga mencapai 383 PSI. Akibatnya, puluhan ribu siswa di Malaysia dan Singapura terpaksa diliburkan. Mantan Perdana Menteri Singapura Goh Cok Tong sampai menyatakan "kini anak Singapura sedang tercekik".
Agung berkukuh pemerintah Indonesia sudah serius mencegah terjadinya pembukaan lahan dengan membakar hutan. Sebagai bukti, pemerintah sudah mengeluarkan imbauan larangan dan juga menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan. Dalam aturan ini disebutkan, pembakar hutan perorangan maupun perusahaan dapat dikenai sanksi hukuman badan maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp 10-15 miliar.
Agung pura-pura tak tahu bahwa imbauan dan peraturan saja tak cukup untuk mencegah pembakaran hutan. Faktanya, aturan itu melempem. Kepolisian dan pemerintah daerah, yang seharusnya mengawal pelaksanaan undang-undang itu, malah seolah tutup mata terhadap kebakaran hutan. Pun, belum semua daerah menerbitkan perda larangan membakar hutan. Hanya beberapa daerah, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Riau, yang sudah memiliki peraturan ini. Itu pun pelaksanaannya asal-asalan. Buktinya, praktek pembakaran hutan terus berulang saban tahun.
Pemerintah daerah adalah salah satu titik lemah dalam soal ini. Otonomi daerah menempatkan tanggung jawab terbesar kebakaran hutan pada pemerintah daerah. Aturan mainnya, ketika jumlah titik api menjamur, asap semakin ke mana-mana dan sudah mengganggu negara tetangga, seperti sekarang, barulah pemerintah pusat mengambil alih.
Begitu terus insiden pembakaran berulang setiap tahun. Tak pernah ada langkah mendasar untuk mengatasi kebakaran hutan. Hukuman berat seharusnya dijatuhkan kepada para pembakar hutan mengingat dampak buruk polusi asap. Transportasi dan kegiatan pendidikan juga terganggu.
Yang juga tak kalah penting adalah membangun sistem pengawasan dini mencegah kebakaran hutan. Seharusnya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPMD) sudah mengantisipasi bencana asap ini. Jika tak bisa menyiapkan sistem ini sendiri, Indonesia bisa meminta bantuan negara tetangga. Berlagak sok gengsi menolak bantuan Singapura, namun tak juga melakukan tindakan serius, itulah yang pantas disebut sikap kekanak-kanakan. (*)