Setelah perkara korupsi yang menjerat Jenderal Djoko Susilo, kepolisian seharusnya melakukan reformasi. Tapi Markas Besar Polri agaknya tak cukup serius membenahi sistem pengadaan barang. Terbukti sekarang mencuat masalah baru: terlambatnya pengadaan pelat nomor dan blangko surat tanda nomor kendaraan (STNK).
Kini material pelat nomor kendaraan menjadi barang langka di hampir semua Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) di seluruh Indonesia. Pengendara yang hendak memperpanjang STNK harus pulang dengan rasa kecewa. Mereka tak lagi memperoleh STNK baru. Pemilik kendaraan pun banyak yang memesan pelat nomor sementara.
Sangat sulit dipahami bila Samsat bisa kehabisan stok blangko STNK, juga buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB). Kejadian ini mungkin yang pertama kali dalam sejarah administrasi lalu lintas di Indonesia. Dampaknya tentu saja tidak sepele. Bisnis otomotif, misalnya, terganggu lantaran polisi tak bisa memastikan penyediaan STNK dan BPKB.
Kisruh seperti ini tak akan terjadi jika saja Korps Lalu Lintas (Korlantas) menepati jadwal tender pengadaan dokumen kendaraan bermotor. Mereka beralasan terlambat menggelar tender justru untuk menjaga kehati-hatian. Polisi menyebutkan, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah, lelang baru bisa diproses setelah ada penetapan pagu definitif dari Dirjen Perbendaharaan. Pagu tersebut baru keluar pada April lalu.
Alasan itu perlu dipersoalkan. Mengapa pada tahun-tahun sebelumnya Korlantas tak pernah kesulitan menggelar tender? Ihwal pagu, Polri sebenarnya juga sangat paham bahwa pagu ditetapkan berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran 2013 yang disusun pada tahun sebelumnya. Jadi semestinya Polri punya waktu yang cukup untuk mempersiapkan tender pada awal 2013 sekalipun mereka tetap ingin menerapkan prinsip kehati-hatian.
Besar kemungkinan, semua itu berhulu pada ketidaksiapan Polri dalam menggelar tender terbuka. Selama ini, sebagaimana terungkap pada kasus simulator, pemenang tender disinyalir sudah diatur sejak awal. Lawan-lawan pemenang tender hanyalah penggembira. Pengerjaan proyek pun bisa disubkontrakkan ke pihak lain dengan leluasa.
PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, misalnya, sudah bertahun-tahun memegang banyak proyek Korlantas. Perusahaan milik Budi Susanto ini menangani proyek simulator kemudi hingga blangko STNK. Masuk akal jika kemudian kepolisian kelabakan setelah Budi dan Djoko Susilo menjadi tersangka korupsi. Para pengusaha-baru datang dengan mata nyalang siap berebut rezeki lowong yang ditinggalkan "tuannya". Broker proyek gentayangan. Tapi kepolisian belum terbiasa menggelar tender terbuka.
Agar tak kian hubar-habir dan pelayanan publik terbengkalai, proyek STNK sebaiknya tak lagi ditangani Korlantas. Gagasan ini perlu dipertimbangkan, mengingat di banyak negara polisi tak mengurus administrasi berlalu lintas. Kementerian Perhubungan mungkin bisa menangani masalah ini. Sesungguhnya ada banyak masalah pelanggaran hukum yang lebih memerlukan penanganan serius polisi ketimbang urusan tender pelat nomor dan STNK.