Reformasi di ambang bahaya jika Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Hak kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi terancam oleh pelbagai pasal represif dalam rancangan hasil hak inisiatif Dewan itu.
Dewan seharusnya membatalkan pengesahan yang sedianya dilakukan pada Selasa besok itu, setelah ditunda karena perdebatan dalam sidang paripurna sepekan sebelumnya. Berbagai peraturan lain yang masih berlaku-seperti Undang-Undang Yayasan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana-membuat kebutuhan akan undang-undang tersebut kurang mendesak.
RUU Ormas sudah lama menjadi perdebatan. Ketika marak terjadi kekerasan oleh anggota sejumlah organisasi, DPR dan pemerintah bersemangat lagi merevisi undang-undang lama, yakni Nomor 8 Tahun 1985. Dalam naskah akademik yang disiapkan Badan Legislasi DPR, tercantum "perlunya mengontrol ormas yang kerap membikin kekacauan".
Sejak awal, rancangan itu terlihat antidemokrasi. Aturan disusun agar secara ketat mengatur seluruh ormas yang didirikan tiga orang atau lebih, baik yang berbadan hukum maupun tidak. Semua ormas diwajibkan mendaftar ke pemerintah. Itu artinya, komunitas pencinta perkutut atau penggemar pop Korea alias K-pop, misalnya, akan terkena ketentuan ini. Ormas bisa dijatuhi sanksi penghentian sementara kegiatan dan pencabutan surat keterangan terdaftar secara sepihak jika dinilai melanggar pasal-pasal larangan yang umumnya juga bersifat lentur.
Dewan dan pemerintah juga cenderung fobia terhadap kata "asing". Ormas asing diwajibkan mengantongi izin prinsip dan izin operasional. Izin prinsip keluar setelah Kementerian Luar Negeri meneliti identitas pendiri dan pengurus ormas asing serta rekam jejaknya. Untuk berkegiatan di Indonesia, ormas asing harus mengantongi izin operasional. Ormas lokal awalnya juga diwajibkan melapor bila menerima bantuan asing-walau akhirnya hanya diharuskan "mengelola keuangan secara transparan dan akuntabel".
Rancangan itu ditentang pula oleh kelompok yang peduli terhadap hak asasi manusia. Apalagi, Dewan pun menyingkirkan Pasal 28 F UUD 1945 yang menjamin "hak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan, mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, serta menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia" sebagai landasan yuridis penyusunan undang-undang.
Draf terakhir tertanggal 10 April 2013 tidak mengakomodasi keberatan itu. Misalnya, diatur tentang larangan penyebaran "ajaran atau paham komunisme, Marxisme, Leninisme, kapitalisme, dan liberalisme". Setelah dipersoalkan, draf terakhir hanya diubah sedikit menjadi "ajaran atheisme, komunisme/Marxisme-Leninisme". Dewan dan pemerintah terkesan mengidap ketakutan berlebihan, dan menuangkannya dalam aturan karet.
UU No. 8/1985 produk Orde Baru memang jauh lebih represif. Tapi solusinya bukan dengan menyusun aturan baru yang membolehkan bentuk lain tindakan represi. Jika masih menghormati reformasi, Dewan seharusnya menghentikan pembahasan RUU Ormas. Pada saat yang sama, pemerintah sepatutnya mencabut aturan lama.