Beginilah bila hukum gampang ditekuk oleh hakim yang tak bijak. Keabsahan jabatan Nur Mahmudi Ismail sebagai Wali Kota Depok, Jawa Barat, digerus lagi setelah lebih dari dua tahun ia dilantik. Buah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini merusak kepastian hukum sekaligus politik.
Kekacauan hukum itu membuat Komisi Pemilihan Umum Kota Depok mencabut dua keputusannya sendiri. Komisi ini membatalkan hasil penghitungan suara dan penetapan calon Wali Kota Depok pada 2010. Pemilihan wali kota mesti diulang? Itulah keinginan sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Depok. Sebagian politikus di DPRD terkesan memanfaatkan celah politik setelah sengketa administratif pilkada ini diputus oleh Mahkamah Agung.
MA menolak permohonan kasasi KPU Depok dalam sengketa dengan pimpinan Partai Hanura Depok. Ini berarti majelis kasasi menguatkan putusan PTUN Bandung pada 2010 yang memenangkan pihak Hanura sebagai penggugat. Pimpinan partai ini menganggap penetapan calon Wali Kota Depok tidak sah karena adanya dukungan ganda. Saat itu Hanura menyokong dua calon Wali Kota Depok, yakni Yuyun Wirasaputra dan Badrul Kamal. Berdasarkan putusan kasasi yang dikeluarkan pada tahun lalu itu, KPU Depok kemudian mencabut dua keputusan tersebut.
Majelis hakim kasasi semestinya paham, putusan PTUN Bandung itu sulit dilaksanakan setelah hasil pilkada diumumkan. Mahkamah Konstitusi juga telah memenangkan Nur Mahmudi dalam gugatan sengketa pemilihan Wali Kota Depok. Karena itu pula, tokoh Partai Keadilan Sejahtera ini kemudian resmi dilantik sebagai wali kota untuk kedua kalinya.
Betapa kacau bila putusan kasasi benar-benar dieksekusi dan keinginan sebagian anggota DPRD Depok dituruti. Tatanan pemerintahan akan rusak begitu jabatan Nur Mahmudi dianggap tidak sah dan pemilihan Wali Kota Depok diulang. Ribuan keputusan yang dibuat oleh sang wali kota selama dua tahun lebih-dari izin mendirikan bangunan hingga pengangkatan pejabat daerah-mesti dianulir. Bahkan Nur Mahmudi harus mengembalikan semua gaji dan fasilitas yang telah dinikmatinya.
Kisruh itu tak lepas dari "perebutan" lahan sengketa pilkada antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dulu, samasekali MA menampik gugatan yang berkaitan dengan pilkada. Tapi, sejak keluar Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7/2010, gugatan atas keputusan KPU bisa diterima sepanjang tidak menyangkut hasil pemilihan. Kendati edaran ini mensyaratkan pula penanganan yang bijak oleh hakim, prakteknya justru menimbulkan kekisruhan.
Sepintas, sengketa pilkada Depok tidak menyangkut hasil pemilihan. Tapi, begitu penetapan calon wali kota dianggap tidak sah, termasuk hasil rekapitulasi suaranya, jabatan Nur Mahmudi pun dinilai cacat hukum. Tak masuk akal bila hakim PTUN dan hakim agung tidak memahami konsekuensi ini. Pihak yang terus menggerus keabsahan hasil pilkada dengan segala cara juga perlu dikecam. Manuver hukum yang berlebihan justru akan merusak mekanisme demokrasi.