Aneh jika KPK mempersoalkan lambannya kejaksaan dan kepolisian mengusut kasus dugaan korupsi APBN oleh Nazaruddin. Semestinya KPK berkaca untuk melihat bagaimana mereka sendiri begitu lamban menangani kasus gratifikasi dalam pembangunan Wisma Atlet Hambalang. Dalam kasus ini, sudah ada empat tersangka, yaitu mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng; mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum; Direktur Operasional PT Adhi Karya, Teuku Bagus; serta Kepala Biro Rumah Tangga dan Keuangan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Deddy Kusdinar.
Dari keempat tersangka, baru Deddy yang sudah ditahan. Andi, Anas, dan Teuku Bagus sudah dimintai keterangan tapi masih bebas. Inilah yang menjadi pertanyaan. Melihat sudah lamanya kasus ini ditangani, semestinya KPK lebih cergas. Berlambat-lambat hanya membenarkan kecurigaan bahwa KPK tebang pilih dalam menangani kasus korupsi, khususnya yang bersinggungan dengan kekuasaan.
Penanganan kasus gratifikasi itu layak dipercepat karena dua hal. Pertama, besarnya dugaan kerugian uang negara. Kasus rasuah ini diperkirakan merugikan negara Rp 240 miliar. Kedua, ada kemungkinan tokoh-tokoh penting terlibat. Nazaruddin, yang sudah dipidana dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games, dalam kesaksiannya menyebutkan sejumlah nama, dari menteri, ketua umum partai, pejabat badan pertanahan, direksi badan usaha milik negara, sampai anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Magnitudo kasus ini bisa semakin besar jika kesaksian Nazar, bahwa sebagian uang suap mengalir ke Kongres Partai Demokrat pada Mei 2010, terbukti. Bila hal itu benar, implikasinya sangat serius. Keabsahan Partai Demokrat bakal terancam, karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan, dalam kasus korupsi, bukan hanya pelaku yang bisa diadili, tapi juga organisasi. Sanksi bagi organisasi pun cukup berat, dari pembekuan hingga pembubaran.
KPK mengatakan penanganan kasus ini lama karena rumitnya proses audit untuk menentukan besarnya kerugian negara. Kerumitan itu misalnya mengenai unsur apa saja yang bisa disebut sebagai kerugian negara. Ada juga persoalan lain, yaitu memutuskan apakah bangunan dan fasilitas olahraga yang sudah jadi bisa dimasukkan sebagai unsur pengurang nilai kerugian negara.
Jika benar itu masalahnya, yang bisa dilakukan KPK adalah mempercepat koordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Pemeriksa Keuangan. Kedua lembaga tersebut berwenang melakukan audit konstruksi serta nilai infrastruktur yang dibangun. BPK pun bisa mengevaluasi kesesuaian antara nilai proyek dan kualitas infrastruktur yang dibangun. Proses koordinasi inilah yang harus dipercepat. Kementerian PU dan BPK tak boleh menunda-nunda tugas mereka dalam mencari bukti korupsi.
Kita memaklumi bahwa tenaga penyidik di KPK juga terbatas. Keterbatasan ini semestinya tak jadi hambatan bila KPK menempatkan kasus gratifikasi tersebut sebagai prioritas. Semakin cepat kasus ini dibawa ke pengadilan, KPK sebetulnya diuntungkan. Bila kasus itu tuntas, KPK bisa segera menangani kasus lain yang tak kalah besar. Masih banyak kasus korupsi yang terkatung-katung penanganannya. Misalnya, kasus dana talangan Bank Century yang belum jelas pula penyelesaiannya.