Inilah akibat setengah hati membersihkan Kepolisian Republik Indonesia. Penyakit korupsi di lembaga ini dari tahun ke tahun bukannya berkurang, melainkan malah menyebar dan merajalela bak kanker. Laporan terbaru Transparency International menempatkan Kepolisian Republik Indonesia sebagai lembaga paling korup dibanding lembaga-lembaga lain. Temuan ini mempertegas perlunya mereformasi total lembaga ini.
Hasil survei lembaga itu menunjukkan Kepolisian Indonesia memiliki kinerja terjelek dibanding lembaga serupa di semua negara Asia Tenggara. Sebanyak 91 persen responden menganggap institusi ini paling korup. Tentu saja ini cap yang sangat memalukan, dan harus ada perubahan radikal untuk memperbaikinya.
Baca Juga:
Temuan ini adalah tamparan kembali bagi Kepolisian. Bagaimana mungkin lembaga ini bisa menegakkan hukum dengan adil bila mereka menganggap korupsi sebagai hal biasa. Publik dengan gampang melihat betapa banyak polisi yang bergaji biasa-biasa tapi punya rekening jumbo di mana-mana.
Seorang bintara polisi seperti Labora Sitorus, contohnya, yang bekerja hanya selama 30 tahun, bisa menumpuk Rp 900 miliar di rekeningnya. Jumlah ini sepuluh kali lipat kekayaan Jenderal Djoko Susilo, yang telah disita Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam kasus korupsi simulator kemudi.
Hasil survei Transparency International menunjukkan budaya menerima rasuah di kalangan kepolisian seperti dianggap hal biasa, bukan sesuatu yang melanggar hukum. Sogokan dari soal kecil, seperti menebus surat tilang (bukti pelanggaran), sampai pengadaan simulator kemudi dan pelat nomor terjadi di mana-mana.
Dalam survei Transparency International diketahui, 75 persen responden menyatakan telah menyuap polisi dalam setahun terakhir. Survei ini melibatkan 114 ribu responden di 107 negara, di antaranya 1.000 responden dari lingkungan rumah tangga di lima kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar.
Yang menyedihkan, praktek rasuah seperti itu terkesan dibiarkan hidup di tubuh Polri. Jarang ada hukuman berat bagi polisi-polisi seperti Labora Sitorus. Kalaupun kasus rasuahnya terungkap, para perwira atasannya malah menutup-nutupinya.
Cap jelek ini mesti membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Komisi Kepolisian turun tangan. Kenyataannya, mereka terkesan mendiamkan penyakit rasuah itu beranak-pinak di Kepolisian. Tak pernah ada gebrakan berarti.
Mencerabut perilaku korupsi di Kepolisian jelas bukan perkara gampang. Semestinya Presiden belajar dari negara-negara lain yang pernah menderita penyakit serupa. Hong Kong, misalnya, pada dekade 1980-an, kepolisiannya juga dilanda praktek korupsi. Namun, setelah pemimpin wilayahnya mengumumkan perang total melawan korupsi, penyakit itu berangsur sembuh. Mereka menunjuk pejabat-pejabat yang bersih. Mereka juga menerapkan hukuman keras yang membuat para polisi hitam jera.
Kondisi saat ini sudah gawat darurat. Jika Presiden tak mau turun tangan, keadaan bisa makin buruk. Masyarakat akan semakin tak percaya kepada Kepolisian. Dengan kewenangannya, semestinya ia memberi jalan bagi lembaga lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk membersihkan Kepolisian.