Polah polisi dalam menyidik kasus pemerkosaan yang menimpa wartawati sebuah media nasional, akhir Juni lalu, pantas membuat kita mengelus dada. Alih-alih mengejar si pemerkosa, penyidik dari Kepolisian Daerah Metro Jaya malah menghabiskan waktu dan energi memperlakukan korban bak tersangka.
Ketika pemeriksaan perkara belum lagi rampung, penyidik sudah merilis kabar ke media massa, menuding korban memalsukan laporan telah terjadi pemerkosaan. Juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto, bahkan membumbui tuduhan itu dengan mengungkap kisah perselingkuhan korban dengan rekan sekerjanya. Rilis polisi ini dimuat sepihak oleh berbagai media dan membuat posisi korban terpojok.
Seakan belum cukup menghakimi korban di media, polisi juga menekan korban selama penyidikan. Ada laporan, dalam satu pemeriksaan, korban dilarang keluar dari ruang penyidik. Ketika jeda, ia dikunci di dalam ruangan, persis seperti pesakitan. Pertanyaan-pertanyaan polisi pun, menurut korban, tidak mengarah ke upaya mengungkap siapa pelaku tindakan biadab itu.
Penanganan serampangan ini sangat tidak profesional. Para penyidik di Sub-Direktorat Kejahatan dan Kekerasan Reserse Kriminal Polda Metro Jaya seharusnya punya kemampuan dan pemahaman yang lebih baik. Pendekatan mereka ketika meringkus preman kelas kakap tentu tak cocok jika diterapkan pada kasus pemerkosaan, yang jelas lebih kompleks. Dalam kasus pemerkosaan, korban tidak hanya menderita trauma fisik, tapi juga psikis.
Soal ini sebenarnya sudah diantisipasi dengan adanya Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana. Peraturan itu dibuat untuk melindungi perempuan dari kemungkinan "terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan yang dapat menimbulkan ekses trauma atau penderitaan yang lebih serius".
Mengacu pada peraturan itu, pemeriksaan atas korban kasus pemerkosaan seharusnya dilakukan di Ruang Pelayanan Khusus. Penyidiknya pun harus polisi wanita berlatar belakang reserse. Keberadaan polisi perempuan amat vital karena penyidik pria dikhawatirkan punya bias patriarkis yang bisa membuatnya tak berempati kepada korban.
Selain itu, pasal 2, 3, dan 17 peraturan itu tegas melarang penyidik menghakimi saksi/korban, mengabaikan asas praduga tak bersalah, memaksakan keterangan/pengakuan, apalagi menyudutkan dan melecehkan korban. Semua prinsip penyidikan itu seperti diabaikan begitu saja dalam penanganan kasus pemerkosaan wartawati ini. Memeriksa korban dengan peralatan lie detector, misalnya, perlu dipertanyakan urgensi dan relevansinya.
Memang benar korban sempat berbohong mengenai rangkaian kejadian sebelum pemerkosaan terjadi. Korban sudah mengakui kesalahan itu. Dia melakukannya untuk menutupi kisah perselingkuhannya di kantor. Tapi satu kesalahan itu tentulah tak layak membuatnya kehilangan semua haknya sebagai korban, apalagi sampai membuatnya jadi tersangka kasus laporan palsu.
Sudah seharusnya semua korban kasus pemerkosaan diperlakukan khusus. Menjadi korban tindakan tak beradab macam itu sudah sedemikian berat dan tak tertanggungkan. Jangan sampai penanganan polisi yang tak sensitif membuat korban merasa diperkosa untuk kedua kalinya.